Kamis, 18 April 2013

Partai Politik



Politikus

“Jika masuk surga harus lewat partai politik, saya tidak perlu masuk surga …”
Thomas Jefferson.

Di akhir abad 20, tepatnya ditahun 1998 dunia diguncang oleh krisis moneter yang melanda  beberapa negara, Indonesia salah satunya. Krisis itu diperparah oleh gerakan reformasi dari mahasiswa menuntut “sang raja” turun tahta. Dan “raja” pun turun.
Apakah  itu semua selesai sampai disitu? Tidak. Indonesia memasuki tatanan politik baru dan penuh harapan dan  mimpi. Tapi, ada yang salah dalam proses menuju mimpi itu? Dan kita tahu apa yang salah! Tapi kita diam duduk menyaksikannya.
Disini saya katakan, Indonesia menuju kehancurannya sendiri.
Dimana jiwa reformasi yang dulu mengoncang Indonesia? kemana perginya para aktivis dan para pelaku reformasi? Apakah mereka tersingkir oleh karena pemain lama? Atau sebaliknya, mereka menyingkirkan satu sama lainnya karena haus kekuasaan dan uang.
Apakah sekarang ada jiwa reformasi dalam jiwa para politikus saat ini. Atau jiwa yang semakin hancur karena uang dan kekuasaan. Politikus selalu menjadi harapan akan suatu perubahan. Atau sekarang ini harapan itu menjadi semu?
Dalam sejarah, politikuslah yang membawa perubahan dari yang buruk ke yang baik. Atau sebaliknya, dari yang baik ke yang buruk. Dalam Romance of The Three Kingdom, dinasti Han hancur dimulai dari perilaku para Kasim istana yang korup dan mudah disuap. Hingga muncul 3 kerajaan yang saling bertekad untuk mempersatukan dinasti Han. Tapi itu seperti mimpi. Dan memang menjadi mimpi. Perang tak  berkesudahan, kematian yang tak dapat dihitung lagi.
Sungguh sangat disayangkan jika para politikus kita berperilaku seperti para kasim istana diakhir dinasti Han. Korup dan mudah disuap. Itu menurut saya, tapi saya yakin masih ada beberapa orang tidak berperilaku seperti itu.
Memang saat ini menjadi sebuah dilema, mereka hadir seperti pembawa obor harapan kedalam dunia yang kacau, setelah itu entah kemana hilangnya obor harapan. Saya tidak tahu apakah ini sebuah acara sinetron yang hanya akan menampilkan kemenangan pahlawan diakhir acara. Siapakah yang akan jadi pahlawannya? Seperti mitos menantikan Ratu Adil turun kedalam dunia.
Padahal Indonesia sudah dalam titik kritis berpolitik. Ibarat sakit, sudah mencapai stadium 4. Sulit disembuhkan walau harapan itu selalu ada. Mungkin seperti mengharapkan mukjizat. Maaf jikalau saya menjadi orang pesimis seperti ini, tapi inilah fakta bahwa politikus kita sudah mencapai situasi gawat. Kita tak tahu siapa yang jadi malaikatnya, atau iblis yang menjadi menyamar sebagai malaikat.
Suap menyuap dikalangan penjabat, jual beli jabatan saat pemilu sebagai politik balas budi atas usaha pemenangan salah satu calon, nepotisme, kolusi, bahkan hingga politik devide at impera. Itu seperti racun yang membunuh bangsa ini.
Jangan katakan bahwa negara ini dalam keadaan aman sentosa, nasi tersedia  di meja, atau pertumbuhan ekonomi dalam posisi stabil. Itu hanya menutup dosa yang tersembunyi. Ingat 70 juta rakyat Indonesia rentan miskin.
Apakah masih berkata bahwa negara ini dalam posisi yang baik? Jangan hidup seperti era orde baru, yang mungkin terbuai dengan pujian IMF dan Bank Dunia bahwa Indonesia akan terhindar dari krisis. Tapi faktanya, kita tak lebih dari anjing jalanan yang mengemis ke IMF.
Kitalah yang menyebabkan kekacauan ini. Karena kita diam. Hanya menonton dan berbicara saja.
Kita menonton korupsi kalangan penjabat dan pengusaha, keadilan diperjualbelikan, politik uang dan jual beli jabatan, praktek menjebol APBN beramai-ramai hingga mafia perminyakkan.
Tapi kita hanya diam. Ya benar. Kita hanya diam. Menonton. Dan terus menonton. Berdebat. Dan terus berdebat.
Akankah para Pandawa akan menang atas Kurawa jika mereka hanya diam dan menonton ketika kedurjanaan berusaha menguasai kerajaan. Atau apakah Bung Karno akan memploklamasikan kemerdekaan jika hanya menunggu menonton dan diam. Tidak.
Tapi mereka meresponi ‘panggilan’. ‘Panggilan’ untuk mengubah keburukkan menjadi kebaikan. Bukan sebaliknya.
Harusnya menjadi seorang politikus itu adalah sebuah ‘panggilan’, bukan karena ‘ingin’ atau ‘mau’. Tapi karena ‘panggilan’.  Ingat karena ‘panggilan’
Seberapa banyak orang yang ‘terpanggil’, mungkin mereka akan disingkirkan oleh mereka yang berhati busuk.
Kita harus membuka mata. Jangan tutup mata. Jangan mengharapkan iblis berubah menjadi malaikat.
Janganlah bicara mitos-mitos akan kedatangan ratu adil. Ratu adil takkan datang jika hanya diam dan menonton. Apakah mengharapkan ratu adil muncul dari langit. Bukankah lebih baik membuka jalan bagi ratu adil untuk datang.
Politik bangsa ini seperti merajut benang yang kusut. Sangat sukar. Di  butuhkan lebih dari keberanian untuk berubah. Penyakit itu seperti sudah stadium 4. Lihatlah sekelilingmu. Apakah belum stadium 4?
Kita hidup abad 21. Dimana ‘Uang’ adalah panglimanya. Jikalau dulu Ideologi adalah panglimanya, saat ini ‘Uang’lah panglimanya.
Karena akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. Penyakit bangsa ini terjadi juga karena cinta akan uang merasuk politikus negeri ini.


Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...