Politikus
“Jika masuk surga harus lewat partai politik, saya
tidak perlu masuk surga …”
Thomas
Jefferson.
Di
akhir abad 20, tepatnya ditahun 1998 dunia diguncang oleh krisis moneter yang
melanda beberapa negara, Indonesia salah
satunya. Krisis itu diperparah oleh gerakan reformasi dari mahasiswa menuntut
“sang raja” turun tahta. Dan “raja” pun turun.
Apakah itu semua selesai sampai disitu? Tidak.
Indonesia memasuki tatanan politik baru dan penuh harapan dan mimpi. Tapi, ada yang salah dalam proses
menuju mimpi itu? Dan kita tahu apa yang salah! Tapi kita diam duduk
menyaksikannya.
Disini
saya katakan, Indonesia menuju kehancurannya sendiri.
Dimana
jiwa reformasi yang dulu mengoncang Indonesia? kemana perginya para aktivis dan
para pelaku reformasi? Apakah mereka tersingkir oleh karena pemain lama? Atau
sebaliknya, mereka menyingkirkan satu sama lainnya karena haus kekuasaan dan
uang.
Apakah
sekarang ada jiwa reformasi dalam jiwa para politikus saat ini. Atau jiwa yang
semakin hancur karena uang dan kekuasaan. Politikus selalu menjadi harapan akan
suatu perubahan. Atau sekarang ini harapan itu menjadi semu?
Dalam
sejarah, politikuslah yang membawa perubahan dari yang buruk ke yang baik. Atau
sebaliknya, dari yang baik ke yang buruk. Dalam Romance of The Three Kingdom, dinasti Han hancur dimulai dari perilaku
para Kasim istana yang korup dan mudah disuap. Hingga muncul 3 kerajaan yang
saling bertekad untuk mempersatukan dinasti Han. Tapi itu seperti mimpi. Dan
memang menjadi mimpi. Perang tak
berkesudahan, kematian yang tak dapat dihitung lagi.
Sungguh
sangat disayangkan jika para politikus kita berperilaku seperti para kasim
istana diakhir dinasti Han. Korup dan mudah disuap. Itu menurut saya, tapi saya
yakin masih ada beberapa orang tidak berperilaku seperti itu.
Memang
saat ini menjadi sebuah dilema, mereka hadir seperti pembawa obor harapan
kedalam dunia yang kacau, setelah itu entah kemana hilangnya obor harapan. Saya
tidak tahu apakah ini sebuah acara sinetron yang hanya akan menampilkan
kemenangan pahlawan diakhir acara. Siapakah yang akan jadi pahlawannya? Seperti
mitos menantikan Ratu Adil turun kedalam dunia.
Padahal
Indonesia sudah dalam titik kritis berpolitik. Ibarat sakit, sudah mencapai
stadium 4. Sulit disembuhkan walau harapan itu selalu ada. Mungkin seperti
mengharapkan mukjizat. Maaf jikalau saya menjadi orang pesimis seperti ini,
tapi inilah fakta bahwa politikus kita sudah mencapai situasi gawat. Kita tak
tahu siapa yang jadi malaikatnya, atau iblis yang menjadi menyamar sebagai malaikat.
Suap
menyuap dikalangan penjabat, jual beli jabatan saat pemilu sebagai politik
balas budi atas usaha pemenangan salah satu calon, nepotisme, kolusi, bahkan
hingga politik devide at impera. Itu seperti racun yang membunuh bangsa ini.
Jangan
katakan bahwa negara ini dalam keadaan aman sentosa, nasi tersedia di meja, atau pertumbuhan ekonomi dalam
posisi stabil. Itu hanya menutup dosa yang tersembunyi. Ingat 70 juta rakyat
Indonesia rentan miskin.
Apakah
masih berkata bahwa negara ini dalam posisi yang baik? Jangan hidup seperti era
orde baru, yang mungkin terbuai dengan pujian IMF dan Bank Dunia bahwa
Indonesia akan terhindar dari krisis. Tapi faktanya, kita tak lebih dari anjing
jalanan yang mengemis ke IMF.
Kitalah
yang menyebabkan kekacauan ini. Karena kita diam. Hanya menonton dan berbicara
saja.
Kita
menonton korupsi kalangan penjabat dan pengusaha, keadilan diperjualbelikan,
politik uang dan jual beli jabatan, praktek menjebol APBN beramai-ramai hingga
mafia perminyakkan.
Tapi
kita hanya diam. Ya benar. Kita hanya diam. Menonton. Dan terus menonton.
Berdebat. Dan terus berdebat.
Akankah
para Pandawa akan menang atas Kurawa jika mereka hanya diam dan menonton ketika
kedurjanaan berusaha menguasai kerajaan. Atau apakah Bung Karno akan
memploklamasikan kemerdekaan jika hanya menunggu menonton dan diam. Tidak.
Tapi
mereka meresponi ‘panggilan’. ‘Panggilan’ untuk mengubah keburukkan menjadi
kebaikan. Bukan sebaliknya.
Harusnya
menjadi seorang politikus itu adalah sebuah ‘panggilan’, bukan karena ‘ingin’ atau
‘mau’. Tapi karena ‘panggilan’. Ingat
karena ‘panggilan’
Seberapa
banyak orang yang ‘terpanggil’, mungkin mereka akan disingkirkan oleh mereka
yang berhati busuk.
Kita
harus membuka mata. Jangan tutup mata. Jangan mengharapkan iblis berubah
menjadi malaikat.
Janganlah
bicara mitos-mitos akan kedatangan ratu adil. Ratu adil takkan datang jika
hanya diam dan menonton. Apakah mengharapkan ratu adil muncul dari langit.
Bukankah lebih baik membuka jalan bagi ratu adil untuk datang.
Politik
bangsa ini seperti merajut benang yang kusut. Sangat sukar. Di butuhkan lebih dari keberanian untuk berubah.
Penyakit itu seperti sudah stadium 4. Lihatlah sekelilingmu. Apakah belum
stadium 4?
Kita
hidup abad 21. Dimana ‘Uang’ adalah panglimanya. Jikalau dulu Ideologi adalah
panglimanya, saat ini ‘Uang’lah panglimanya.
Karena
akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. Penyakit bangsa ini terjadi
juga karena cinta akan uang merasuk politikus negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar