Ketika saya membaca
buku Penyambung Lidah Rakyat sebuah otobiografi dari Ir. Sukarno ditulis oleh Cindy Adams ada hal yang menarik
yang memang terlupakan oleh bangsa ini yaitu Marhaenisme.
Pada awal pembacaannya
mungkin kita akan menemukan sebuah cerita, tapi sebenarnya ada semangat Bung
Karno yang dituangkan dalam buku ini. Kita memang tidak berjumpa langsung
dengan Bung Karno, tapi dengan membaca buku ini kita dapat mengetahui semangat
dan pengertian yang dalam mengenai Bung Karno. Berikut kutipan dari buku
tersebut pada bagian ke enam halaman 73 :
Pada
suatu pagi yang cerah aku bangun dengan keinginan untuk tidak pergi
kuliah—suatu hal yang sering kulakukan. Aku terlalu sibuk dengan kegiatan
politik sehingga kurang tertarik untuk pergi kuliah.
Berkeliling
mengayuh sepeda tanpa tujuan—sambil berpikir—tiba-tiba kusadari aku telah
sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat di
mana para petani bekerja di sawahnya yang sempit, dengan luas kurang dari
sepertiga hektar. Perhatianku tertuju pada seorang petani sedang mencangkul di
tanah miliknya. Dia seorang diri. Pakaiannya lusuh. Gambaran yang khas ini
membuatku ingin menjadikannya sebagai perlambang dari rakyatku. Aku berdiri diam
di sana dan diam-diam memperhatikannya. Kami adalah bangsa yang ramah, maka aku
mendekatinya. Tanyaku dalam bahasa Sunda, “Siapa pemilik tanah yang kau garap
ini?”
Dia
menjawab “Saya, juragan.”
Kataku,
“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“O,
tidak, ‘gan. Saya memilikinya sendiri.”
“Apakah
kau membeli tanah ini?”
“Tidak.
Itu turun temurun diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”
Ketika
ia terus mengali, aku pun mulai menggali…. Secara mental. Aku berpikir mengenai
teoriku. Dan semakin keras berpikir, pertanyaanku semakin banyak. “Bagaimana
dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah milikmu juga?”
“Ya,
‘gan.”
“Dan
cangkul itu?”
“Ya,
‘gan.”
“Bajak?”
“Milik
saya, ‘gan.”
“Lalu
hasilnya untuk siapa?”
“Untuk
saya, ‘gan.”
“Apa
hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”
Dia
mengangkat bahu sebagai bentuk kekecewaan. “Bagaimana mungkin sawah yang begini
sempit bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?”
“Apakah
kau menjual sebagian hasilnya itu?” aku bertanya.
“Hasilnya
sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
“Apakah
kau memperkerjakan orang lain?”
“Tidak,
‘gan . Saya tidak mampu membayarnya.”
“Apakah
engkau pernah kerja pada orang lain?”
“Tidak,
‘gan. Saya harus membanting tulang, tetapi jerih-payah saya semua untuk diri
saya.”
Aku
menunjuk sebuah gubuk kecil. “Siapa pemilik rumah itu?”
“Itu
rumah saya, ‘gan. Kecil tetapi milik saya sendiri.”
“Jadi
kalau begitu,”Kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, “Semua
ini milikmu?”
“Ya,
‘gan.”
….
Dan
nama petani muda itu adalah Marhaen.
Bung
Karno berujar:
“Para
petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah
korban dari sistem feodal, di mana pada awalnya petani pertama diperas oleh
bangsawan pertama, dan seterusnya sampai keanak-cucunya selama berabad-abad.
Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban dari imperialism perdagangan
Belanda, karena nenek moyangnya telah dipaksa untuk hanya bergerak di bidang
usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya. Rakyat yang menjadi
korban ini, meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen.”
Kaum
Marhaen menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia saat itu di era kolonial,
dimana kaum Marhaen ini sangat berbeda dengan kaum proletar Eropa. Kaum Marhaen
memiliki alat produksi sendiri, tidak mempunyai tuan atau majikan dan hasil
produksinya hanya cukup untuk dirinya sendiri dan keluarga. Petani kecil,
pedagang kecil masuk dalam kategori ini, dan saat ini Marhaen tersebut sangat
relevan bagi bangsa ini.
Marhaenisme adalah lambang dari
penemuan kembali kepribadian nasional, kata Bung Karno. Dan jangan lupakan
ideologi bangsa ini, bahwa bangsa ini berdiri karena suatu perjuangan Bung
Karno dan teman-temannya yang membidani lahirnya bangsa ini dan melepaskannya
dari cengkraman kolonialisme. Marhaenisme adalah semangat kita.