Jumat, 04 Desember 2015

Si Anak Baik dan Pria Tua



Perlu sesekali kita menghabiskan kopi bersama teman-teman diakhir pekan ini. Mungkin sepele bagi beberapa orang atau hanya membuang-buang waktu berharga diantara kesibukan ini.

Kita terlalu sibuk bicara dan bicara pada beberapa hari yang lalu, mengangkat telepon, mencoret-coret kertas, menelpon untuk basa-basi lagi dan menghampiri orang lain seakan bertanya kebutuhan mereka dan menawarkan solusi bagi mereka. Seperti siklus harian selalu terulang dan berulang lagi sampai esok berganti esoknya lagi.

Dalam percakapan sederhana ditemani kopi hitam pekat akan menghilangkan rasa letihmu (mungkin) terhadap hari-hari yang lalu. Di kedai kopi yang kecil dan sederhana.

Si anak baik bicara tentang televisi, bukan harga televisi atau merek televisi yang ia miliki. Tapi tentang bahasan topik terhangat (sehangat kopi yang diminum) beberapa hari ini. Ditambahi beberapa bumbu-bumbu lelucon khas daerah, sedikit mengolok-olok atau menghina topik bahasan yang membuat pembicaraan siang ini jadi enak.

Dan hujan pun mulai tampak bersahabat dengan kita saat ini.

Si anak baik mengangkat kakinya dan menoleh ke jendela untuk menikmati tontonan air turun dari langit.

“Saya memperhatikan seorang tukang parkir tadi pagi yang berdiri mematung sambil menghisap candunya. Pria tua berkulit hitam terbakar matahari dengan postur tubuh yang tinggi.”

Raut wajahnya berubah dari lelucon sederhana ke pembicaraan yang masih belum dapat dimengerti oleh pendengarnya.

“Mata pria itu kosong, aku tidak melihat bola matanya dari seberang jalan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan sialnnya aku tidak tahu apa yang dipikirkan pria tersebut.”

“Mungkin kamu harus bertanya pada pria itu.” Pendengar lainnya menanggapi.

Si anak baik tampak kecewa dan dihinggapi rasa ingin tahu. Dan pendengar tampak tertawa kecil geli melihatnya.

Dan aku pikir itu adalah hal yang luar biasa yang diucapkan si anak baik. Mengapa ia begitu ingin tahu apa yang dipikirkan pria tukang parkir itu?

Air yang turun dari langit ini mulai turun dengan lebatnya  tampak mulai menghambat perjalanan. Di kedai yang kecil ini orang mulai turun dari motornya untuk berteduh sambil sekalian menikmati kopi hangat dicuaca yang dingin ini. Dan mulai tampak sesak dalam ruangan.

Si anak baik sedikit kaget dengan pria yang barusan masuk kedai, dengan postur tinggi dan baju yang basah kuyup duduk di pojok kedai. Si anak baik menghampiri pria itu.

“Boleh saya tawarkan secangkir kopi hitam kepada bapak?”

Pria tua itu mengangguk dengan senyum dibibirnya. Kulitnya hitam tampak terbakar matahari dan ia mulai mengeluarkan candunya bernama rokok.


Sabtu, 17 Oktober 2015

Kamis, 17 September 2015

Negeri Tanpa Matahari

Baru kali ini saya lihat bahwa matahari tidak menampakan dirinya bukan karena cuaca atau badai, tapi karena asap. Asap yang berasal dari hutan yang terbakar atau dibakar oleh mereka yang disebut berkuasa. Ini negeri para bedebah.

Negeri ketika penguasa takut kepada yang berkuasa atas uang. Semua jadi mudah bukan. Sementara rakyat hanya mengeluh atas perlakuan tersebut tanpa ada perubahan berarti sebenarnya. Berganti-gantinya orde pun tiada artinya jika penguasa takut kepada yang berkuasa atas uang.

Uang kami yang seharusnya untuk pembangunan disaat krisis ini digunakan untuk menaikkan gaji para anggota dewan yang (tidak) terhormat (masih dibilang kurang).   Negeri tidak memiliki rasa malunya sama sekali. Semua diisi oleh para bajingan yang tidak tahu malu. Dari desa ke kota. Dari kota ke provinsi. Dari provinsi ke pusat yaitu Jakarta. Dari PSSI ke FIFA. Dari hutan muncullah asap. Asap dari Indonesia di ekspor ke negeri lain.

Negeri ini indah seperti surga. Tidak. Negeri ini seperti sebongkah keju ukuran truk raksasa yang berisikan tikus dan kecoak didalamnya. Ya. Ini negeri yang diisi oleh para bajingan.

Matahari keliatannya malu untuk menampakan dirinya hari ini. Mungkin esok ia akan kembali untuk negeri ini. Atau mungkin saja tidak. Lebih baik tidak saja.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Tanpa Judul

Sayap yang dipatahkan tidak mungkin akan tumbuh lagi. Masa lalu yang telah lewat tidak mungkin dilupakan. Kita seperti orang yang gagap pada dunia. Berusaha mengubah jaman tapi jaman itu sendiri kosong dan hampa.

Rabu, 22 Juli 2015

Langkah Kecil

Hi.....
Saya sudah lama tidak menulis di blog ini, saya seakan-akan lupa akan puisi dan syair-syair indah yang telah saya baca. Sudah lama tidak membaca membuat saya sendiri muncul rasa kangen terhadap buku-buku yang berbaris manis di lemari kamar. Kasihan buku-buku yang telah dibeli tapi tidak dibaca.
Banyak momen-momen indah yang terlewatkan tidak tertulis di blog atau buku harian, wah perlu banyak rangkuman singkat untuk semua pengalaman tersebut.

Pengen rasanya waktu itu ditambah 12 jam lagi, jadi total waktu dalam 1 hari itu 36 jam. Seakan-akan 24 jam itu terasa singkat sekali. Saya merasa bahwa belum menjadi manusia seutuhnya. Ada yang bilang bahwa kurangnya waktu itu karena kita sendiri tidak dapat mensyukuri waktu yang tersedia atau yang lebih ekstrim lagi bahwa kurangnya waktu itu petanda manusia jaman akhir. Saya sendiri tidak akan memilih kedua-duanya.
Sekarang usia saya sendiri 24 tahun, hampir seperempat abad. Masih ada waktu untuk mengejar impian. Atau mungkin saya akan mengejar impian ditemani oleh seseorang yang saya kasihi.

Ini adalah sebuah langkah kaki kecil dari seorang manusia

Jam Tangan

Aku ingin memberikan hadiah padamu Jam tangan Yang menunjukan waktu untuk kamu lalui Menghitung detik demi detik dengan sabar Mungkin aku ad...