Pilkada 2017 hanya
tinggal hitungan minggu saja, dimana kita ketahui bahwa pemilihan pemimpin
daerah yaitu gubernur akan ditentukan pada tanggal 15 Februari nanti. Pilkada
serentak ini juga menghampiri provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat
empat pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang akan berebut kursi nomor
satu di provinsi ini.
Mengapa saya memberi
judul pada tulisan ini yaitu “Kegagalan Pembangunan Pulau Bangka”, menurut
pendapat pribadi saya bahwa pembangunan Pulau Bangka kurang lebih 10 tahun ini
adalah semu. Seperti kabut, yang ketika cuaca dingin kabut turun sebentar
kemudian hilang. Pembangunan ini hanya ilusi saja, hanya janji-janji yang kita
dapatkan, bukan bukti nyata kemajuan, tapi justru kemunduran.
Sempat menikmati era
pertambangan timah pada masa lalu yang hanya sebentar, tapi sepertinya pemimpin
ini tidak pernah mempersiapkan diri bahwa era pertambangan timah tidak akan
berumur panjang. Padahal setahu saya memang era pertambangan timah yang tidak
terkontrol akan berdampak negatif pada pembangunan di masa depan. Dan sekarang,
kita merasakannya terjadinya penurunan ekonomi yang cukup drastis dalam dua
tahun belakangan ini.
Kerusakan alam baik di
laut dan di darat tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan, tapi pemimpin
kita tidak pernah bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi era pasca
pertambangan timah ini. Kerusakan alam yang memang parah di pulau ini memang
akibat dari pertambangan timah yang tidak terkontrol, dan diperparah oleh
kelakuan pemimpin kita yang seakan-akan memberi peluang terjadinya pertambangan
illegal, penyeludupan timah dan pengerusakan alam yang tidak terkontrol lagi
dimasa lalu.
Banjir mungkin
kedepannya akan terus menghampiri kota Pangkalpinang, jika tidak ditanggapi
dengan tepat. Banjir 2016 yang hampir melanda beberapa wilayah di Pulau Bangka
adalah akibat dari ketidakbecusan pemimpin hingga pemangku kepentingan dan
orang-orang berkuasa yang memang seakan-akan tidak peduli masa depan pulau ini.
Dan parahnya orang-orang ini berebut menjadi penguasa kembali pada pilkada
2017.
Rusaknya lingkungan,
rusaknya laut dan daratan menjadi penderitaan rakyat dan generasi mendatang
untuk membenahi perbuatan dari golongan tua. Golongan tua disini yang saya
sebutkan adalah mereka yang dimasa lalu kepemimpinannya hanya pada pencitraan
saja dan memberi rakyat janji-janji manis kampanye dan setelah berkuasa mereka
lupa, mereka tidak menjalankan dengan baik programnya, mereka terus melakukan
pembiaran terhadap pertambangan timah yang mengakibatkan rusaknya laut dan
daratan, dan yang dilakukan hanya pencitraan saja dan terus pencitraan saja.
Pilkada 2017 ini sudah
menjadi agama baru dan semboyan-semboyan bagi politisi daerah untuk melakukan
pencitraan dan mengambil hati rakyat. Dalam pilkada 2017 ini mereka golongan
tua memposisikan diri sebagai “pelayan rakyat” “harapan baru” “juru selamat”
bahkan mereka mungkin mau mencuci kaki rakyatnya ketika masa kampanye pilkada
2017 ini. Hal inilah yang menjadi penyakit politisi dan golongan tua ini,
mereka ketika terpilih sudah menjadi orang lain. Mereka berkhianat kepada
rakyatnya, mereka tidak mengukur kemampuannya bahwa pada awalnya mereka tidak
becus menjadi seorang administrator daerah. Tapi mereka menikmatinya, dan
tidaklah menjadi dosa, karena golongan tua ini hanya mencari jabatan dan gila
hormat atau mungkin saja gila uang.
Politik adalah barang
yang paling kotor, kita hanya menjumpai pengkhianatan saja. Padahal politik
menurut Aristoteles adalah suatu usaha yang ditempuh rakyat untuk mewujubkan
kebaikan bersama. Tapi justru yang terjadi adalah makanan baik untuk para
pemimpinnya, dan rakyat hanya makan janji-janji manis.
Ketika terpilih mereka
memposisikan diri sebagai raja, sebagai orang yang dipertuan agungkan,
dipermuliakan, harus disembah oleh rakyat yang memilihnya, tapi ketika dikritik
mereka seperti cacing kepanasan. Untuk menghindari kritik mereka rajin muncul
headline media massa, mereka pintar mengkomunikasikan kepada rakyatnya bahwa
mereka adalah orang baik, golongan tua ini sangat suka dipuji dan dihormati
karena jabatan, bukan karena pekerjaan.
Sudah saatnya kita berkata
TIDAK pada pemimpin golongan tua ini, yang hanya menaruh simpati dan
mengutarakan keprihatinan ketika banjir datang, memposisikan diri ikut
merasakan dampak akibat banjir dengan blusukan, walaupun mereka turut
bertanggungjawab terhadap kerusakan alam di pulau ini, mereka yang kerjaannya
hanya memasang baliho-baliho dipersimpangan untuk mengucapkan hal-hal yang
tidak penting. Tapi tidak banyak hal yang baik dilakukan mereka bagi pulau ini.
Kita TIDAK butuh
pemimpin seperti golongan tua ini. Kita butuh seorang administrator untuk
mengatur kembali kota Pangkalpinang yang ambruladul, memperbaiki kerusakan alam
Pulau Bangka yang diakibatkan golongan tua ini dan berani berkata TIDAK
terhadap suap, korupsi, bagi hasil, berbagi proyek maupun persekongkolan dengan
mafia-mafia yang hanya mengincar timah Bangka tapi tidak peduli pada alam baik
lautan dan daratan.
Kita sudah cukup
dibodohi oleh golongan tua ini. Dan parahnya beberapa dari kita termakan janji-janji
manis golongan tua. Jika terus seperti ini, tidak ada lagi yang diharapkan
rakyat Pulau Bangka, saatnya kritis untuk pembangunan di masa depan. Jangan
beri kesempatan bagi golongan tua untuk berkuasa kembali. Sebab merekalah juga
yang harus bertanggungjawab terhadap kemunduran perekonomian dan kerusakan alam
yang menyebabkan banjir.
Tapi saya sendiri tidak
tahu, yang manakah administrator ulung? Manakah pemimpin yang benar-benar baik
dan mampu? Manakah pemimpin yang tidak korup, tidak mencuri uang rakyat, tidak
membagi uang hasil proyek kepada keluarga/rekanan/ajudan? Tidak berbisnis di
luar daerah? Tidak berkongsi dengan mafia? Manakah pemimpin yang tidak
mengunakan kekuasaannya dimasa lalu untuk memperkaya orang lain/dirinya
sendiri? Manakah pemimpin yang berani pembuktian harta terbalik? Manakah
pemimpin yang benar-benar pemimpin?
Atau semuanya hanya
pencitraan saja, sebab pilkada 2017 sudah menjadi agama dan semboyan-semboyan
bagi para calonnya. Saya hampir menjadi apatis.