Selasa, 30 April 2013

BENAR


BENAR

Ada suatu kisah yang menarik dari seorang yang memegang teguh keyakinan akan suatu kebenaran yang ia anggap benar.
Ia yakin bahwa bumi ini bukanlah pusat dari tata surya. Ia melawan fatwa ‘penguasa’.
‘Penguasa’ negeri saat itu di ibaratkan sebagai penyampai kebenaran dari Tuhan, mereka memaklumatkan diri mereka sebagai pusat dari kebenaran. Segala pendapat atau ada doktrin yang berbeda dari apa yang disampaikan ‘penguasa’ saat itu di anggap sesat.
Di abad itu kegelapan ilmu pengetahuan melingkupi penguasa dan kaum cendikiawan.
Segala yang bertentangan dengan ‘penguasa’ akan di cap sebagai penyesat.
Berabad-abad perlawanan dilakukan oleh kaum ‘pemberontak’ terhadap ‘penguasa’. Melalui  gerakan perlawanan dengan dalil-dalil para ‘pemberontak’ membuka pikiran masyarakat. Tapi ‘penguasa’ tak tinggal diam. ‘Pemberontak ditangkap, dibunuh, disiksa, dikejar, dikucilkan, hingga dipenjara. Kebanyakkan yang tertangkap akan berakhir tragis.
Kopernikus dengan buku De Revolutionibus yang melawan gereja sacara halus. Tetap dengan kenyakinan bahwa bumi bukanlah pusat dari tata surya menghadapi penguasa gereja. Hingga bukunya di golongkan sebagai buku yang haram dibaca.
Kemudian seorang biarawan dari Ordo Augustinus bernama Martin Luther memaparkan 95 dalil di Wittenberg membuat gerakan reformasi gereja yang menjalar ke seluruh dunia dan bertahan hingga sampai saat ini.
Dua tokoh inilah yang memegang teguh kebenaran yang mereka  anggap benar. Sementara kebenaran dari pihak paus (gereja) adalah penyimpangan dari kebenaran yang sesungguhnya.
Tapi tentu saja ‘penguasa’ tak mau disalahkan pendapatnya. Mereka akann terus  menekan kaum yang bukan penguasa atau lebih dicap sebagai kaum ‘pemberontak’. Mereka (pemberontak) salah. Kami (penguasa) adalah yang paling benar. Tapi sebaliknya mereka (pemberontak)  menganggap diri benar, tapi mereka (penguasa) belum benar.
Terus, siapakah yang akan membenarkan, siapa yang paling benar dari dua belah pihak. (Karena pertikaian terjadi karena ada dua pihak yang saling berbeda pendapat dan saling menerang satu sama lainnya. berbahagialah pihak yang kuat, karena mereka akan lebih mudah menyiksa yang lemah.)
Jadi siapakah hakimnya?
Hakim yang adil bagi ‘peguasa’ saat itu adalah Tuhan. Mereka berpendapat Tuhan seakan-akan memberi kekuasaan kepada ‘penguasa’ untuk menentukan, mana yang lebih benar. Tentu mereka akan memilih bahwa pendapat dari mereka.
Tapi juga itu tak adil. Apakah Tuhan tak berhak menentukannya dengan sendiri tanpa perantara ‘penguasa’. Apakah Tuhan sendiri tak berkuasa dibumi. Bumi yang diciptakannya.
Tuhan menjawab sendiri dari pertikaian ini. beberapa ratus kemudian jawaban itu muncul. Bahwa bumi bukanlah pusat dari tata surya. Kaum yang dianggap ‘pemberontak’ menang. Tapi kaum ‘penguasa’ juga tak kalah. Hanya diluruskan saja.
Kita juga begitu yakin akan pendapat yang kita miliki. Tapi bagaimana dengan mereka  yang tak sependapat dengan kita. Apakah perlu untuk menyerang pihak yang berbeda dengan kita?
Semakin ditekan, bukankah mereka yang memegang kenyakinannya akan merasa semakin benar.
Sementara mereka yang menekan, seakan-akan tak bisa membenarkan kenyakinan mereka sendiri. Sehingga mereka menekan seakan-akan tak bisa melawan dengan pendapat lagi.
Kurawa bersaudara yakin mereka berhak mewarisi kerajaan, dan Pandawa bersaudara juga berhak juga dengan pendapat lain. Tapi pengarang epos ini seakan-akan memainkan cerita yang berakhir dalam peperangan.
Pandawa menang.
Yakinkah mereka menang dalam perang?
Bukankah mereka sendiri kehilangan saudara-saudara mereka, apakah itu bisa disebut menang?
Mempertahankan kenyakinan memang tak semudah mengambil barang dari dalam saku. Karena berbeda pendapat itu selalu akan menhampiri.
Tapi Tuhan seakan-akan membuat sesuatu itu menjadi terlihat lebih mudah. Ia tak memainkan kekerasan dalam menunjukkan kebenarannya. Tapi Tuhan mengunakan waktu untuk menjawab pertikaian itu.
Hanya kita manusia yang mengunakan kekerasan  dalam menunjukkan kebenaran. Sementara Sang Pemilik kebenaran tak mengunakan kekerasan.
Bukankah itu kelihatan ‘menjijikan’. Mengong-gong dijalanan tanpa maksud. Bahkan menyerang manusia  lainnya seakan-akan memperlakukan manusia sama  seperti binatang.
Mengunakan kata-kata yang menyakitkan dan menusuk sampai ke bagian terdalam. Bukankah manusia itu tak pernah puas merendahkan manusia lainnya. Sampai mendapat pengakuan dari pihak lain.
‘Kebenaran’ dari mereka yang mempertahankan kebenaran dengan mengunakan ‘api’,  seperti mengunakan api untuk mengusir tikus dari ladang.
Tapi seakan-akan mata mereka menjadi buta.
Buta akan dasar kebenaran itu sendiri. Bahkan tindakan mereka melawan kebenaran.

Minggu, 28 April 2013

TERENDAH


Terendah

Ada kalanya di  suatu  waktu seorang manusia mengalami  titik dimana dirinya merasa tak dibutuhkan dalam suatu masyarakat. Perasaan  itu muncul ketika mengalami kekecewaan dalam komunitas.
Terkadang pula ada kondisi dimana seorang manusia mengalami titik terendah dalam hidupnya.  Titik terendah itu bisa berupa ketakutan yang besar. Kekuatiran. Kejenuhan hingga rasa penyesalan yang mendalam.
Justru disaat seseorang membutuhkan suatu pertolongan dalam kondisi-kondisi diatas, pertolongan itu belum datang.
“Ada kalanya Tuhan itu diam saat kita membutuhkan pertolongan”.
Tetapi ternyata manusia adalah sesosok yang terkadang memberikan pertolongan diwaktu yang tak tepat. Saat tak menginginkan bantuannya. Mereka datang dalam memberikan pertolongan yang justru seperti cambuk berduri.
Merasa dirinya benar dalam memberikan  bantuan, sampai memaksa  orang tersebut untuk setuju dengan dia.
Tapi apa yang dibutuhkan oleh manusia yang berada dalam titik terendah itu terkadang bukanlah manusia lainnya. Bukan manusia yang memberikan cambuk berduri kepada kita.
Kita membutuhkan waktu.
Waktu untuk tersadar akan suatu mimpi buruk ini, yang seakan-akan belum bangun dari kenyataan.
Waktu itu terkadang memang tak mau menunggu kita untuk bangun dari mimpi buruk ini. Dia kejam, meninggalkan yang terlambat. Dan tak memberi ampun bagi yang kehilangannya. Ia lebih kejam dari ibu tiri.
Kita mengaharapkan waktu itu bisa memberikan kelonggaran.
Berharap waktu itu bisa terulang.
Heiii… Apa engkau masih tertidur.

Mungkin bagi yang pernah merasakan dalam titik terendah dalam hidup ini.
Tempat yang sangat dinantikan. Tempat dimana engkau tak akan mendapatkan dirimu tersayat. Tempat dimana engkau bisa tenang. Tanpa memikirkan dunia.
Di bawah nisan kah.

Engkau marah, engkau sedih, engkau berkata “Mengapa aku harus ada didunia ini. Apakah untuk mengalami  kepahitan ini?”
Cambuk berduri kurasakan seperti menghantam tubuh. Menghantam tanpa ampun. Seperti luka yang mendalam.
Tapi adakah yang peduli  akan semua ini.
Manusia lainnya hanya memberikan cambukan lagi. Hanya menberikan siraman air garam.

Dan Tuhan memang terkadang diam. Tapi Ia tak akan diam terus.
Ia memperhatikan.
Memperhatikan kebodohan dan kelemahanku.


Sabtu, 27 April 2013

MayDay


MAYDAY

                Saya teringat akan sebuah kenyataan, bahwa tanggal 1 Mei setiap tahunnya selalu ada peringatan besar bagi kaum buruh di kota-kota besar, hari dimana pemilik modal merasa gelisah dan terganggu atas aktivitas kaum buruh ini.
                Bagi saya sendiri, Mayday ini bukan hanya aktivitas turun ke jalan menyuarakan aspirasi para buruh. Tapi 1 Mei ini sendiri adalah sebuah perayaan besar bagi kaum buruh, perayaan atas kemenangan terhadap kaum kapitalis.
                Kaum buruh populer di abad ke 19, abad ketika kapitalisme merajai dunia. Abad ketika seseorang bekerja 20 jam dalam seharinya. Abad ketika anak kecil bekerja 18 jam dalam sehari-hari di pabrik. Merekalah kaum buruh pertama-tama yang meletuskan sebuah perlawanan terhadap kaum ‘penghisap darah’.
                Di abad itu juga dua tokoh sosialisme sekaligus penentang kaum pemilik modal, memberikan perlawanan. Memberikan pondasi perlawanan hingga mengubah peradaban kita.
                Gerakan kaum buruh sudah memberikan warna bagi perubahan dunia. Perubahan pola berpikir, pola gerakan penuntutan terhadap ketidakadilan yang terjadi.
                Saat ini waktu kerja yang normal terjadi adalah 10 jam perhari, kalaupun lebih, hanya tak pernah sampai 20 jam per hari. Itu semua tak lain dari gerakan para buruh abad ke 19 dan abad 20 yang menuntut perubahan dalam pekerjaannya.
                Mereka adalah para pejuang dari  kaum yang tak diperhatikan. Mereka yang menjalankan sumber daya, menjalankan mesin-mesin dari pemilik modal. Kemajuaan saat ini tak lepas dari peran kaum buruh.
                Walaupun mereka bukan kaum bebas, mereka adalah kaum yang tebelenggu oleh pemilik modal. Dalam penjara ‘kebutuhan ekonomi’.
                Peringatan mayday atau 1 Mei ini adalah kemenangan ‘sehari’ atas pemilik modal. Yang mengalihkan perhatian ‘pengurus negeri’ ini untuk lebih memikirkan mereka walaupun hanya satu hari.  Gerakan mereka membuat ‘pengurus negeri’ kalang kabut, yang membuat pemilik modal rugi karena tak ada yang menjalankan modal tersebut.
                Sungguh tragis kisah para penuntut keadilan. Mereka mencari nasi dalam kesesakkan. Sedangkan ‘penggurus negeri’ sibuk mencari ‘nasi’ lebih dalam dandang didapur.
                Ini akan terus berlanjut dalam tanggis dan duka kaum buruh.
                Selama palu keadilan masih patah.
                Selama itu pula kaum buruh akan berteriak.
                Memberikan perlawan.
                Tanpa senjata api. Tanpa pisau.
                Senjata mereka hanya suara dalam keheningan.
               

Rabu, 24 April 2013

MANUSIA


MANUSIA

Bukankah kita tahu kalau manusia itu adalah pribadi yang unik. Milyaran manusia di bumi ini belum tentu memiliki  kebiasaan yang sama, hobi yang sama, fisik yang sama, emosi yang sama dan sifat yang sama.
Bahkan ketika kita berdiri dicermin pun, cermin itu hanya menampilkan fisik kita  sesungguhnya.
Saking uniknya. Banyak ilmu yang membahas tentang manusia, dari cara berpikir, bertindak hingga sifat dan sikap manusia.
Manusia itu unik, dan senang pada hal-hal yang unik tentunya.

Tapi keunnikkan manusia tak selalu menyenangkan. Manusia sering menghilangkan manusia lain seakan-akan manusia itu tak unik dan berharga.
Kebanyakkan manusia hidup dalam kemunafikkannya sendiri. Ia selalu mengunakan topeng dan kemana-mana selalu memakai sarung tangan.
Topeng untuk menutupi siapa dirinya, dan sarung tangan untuk menutupi  perbuatannya yang kotor. Itu adalah hal yang menjijikkan.
Tentu saja manusia diajari untuk selalu berbuat sesuatu menurut kebenaran. Kebenaran dalam Agama, Moral dan Hukum.
Dan pada saat menjalankannya kebenaran itu. Kebenaran yang mana? Bukankah kebenaran yang ada di otak manusia itu sendiri. Ataukah menjalankan kebenaran agama yang menuntut kesempurnaan, sedangkan dalam agama sendiri menyimpan banyak misteri dan tafsiran-tafsiran yang lain, dan kalau salah tafsir, salah juga kita.  Apakah manusia itu bisa sempurna menjalankan kebenaran dari agama?. Saya pesimis akan hal itu.
Tapi ia menganggap jalannya benar. Jalannya lurus. Rapi dan mulus.
“Tentu saja saya tak cacat dalam menjalankan kebenaran itu” “Saya lagi dalam proses, mengapa kita harus mempersoalkan kebenaran yang saya jalani” – jawaban dari manusia itu memang manis, selalu punya jalan lain yang diambil ketika sedang tersudut akan kebenarannya yang dipertanyakan.
Tapi mereka benar menurut pandangan mereka. Mereka tak pernah salah. Saat salah, ya tetap benar. Dan kalaupun tak bisa mengelak lagi,  ya tetap benar.
Manusia saling menghakimi akan satu sama lainnya. Manusia satu mengungkap keburukan dari manusia dua, manusia dua berbicara tentang kebusukkan manusia tiga, manusia tiga menuding manusia satu menuduh.
Dan yang tidak sepaham dengan pendapat dan pemikiran manusia lainnya, akan dihakimi tanpa penjelasan. Yang lainnya menghakimi tanpa maksud dan tujuan.
Seorang menganggap yang lainnya seperti iblis, dan berkata kepada yang lain seperti malaikat. Di katakan iblis ketika menyakiti yang lain, dikatakan malaikat ketika ada manfaat atau gunanya.
Manusia sangat tertarik berbicara tentang dirinya sendiri, dan yang lain seperti akan diminta menjadi pendengarnya. Si pendengar ini bosan akan cerita si pembicara, dan ingin bertukar posisi, tapi sayang si pembicara ogah mendengar. Ada yang mau mendengar tapi dengan memakai topeng.
Kita tak selalu bisa bertindak seperti manusia lainnya.
Kita memang tak bisa hidup seperti manusia lainnya
Bahkan kita tak bisa memiliki pemikiran yang terus-terus saja sama dengan manusia lainnya.
Tapi saat itu berbeda, maka akan ada penolakkan.
Penolakan lewat kata-kata. Penolakkan melalui tindakkan. Semua sama, sangat menyakitkan hati.
Tapi manusia tak peduli, ia hanya peduli hatinya yang terpuaskan. Hanya peduli saat dahaganya terpuaskan. Hanya peduli saat perutnya kenyang.
Tapi bagaimana dengan yang tersakiti. Yang tersakiti merasa sedih. Dan menunggu saat yang tepat untuk membalasnya.
Tapi manusia tak pernah menyadari semuanya. Itu normal. Ya sangat normal.
Yang tak normal, akan dianggap sebagai sampah dari kumpulan manusia.
Ada yang inngin seperti malaikat, akan terbuang dalam kegelapan. Tapi ada yang bertindak seperti iblis, akan mati dalam manusia itu sendiri.
Mereka perlu membawa topeng ditangan jika diperlukan. Saat yang tepat memakainya, pada waktu berhadapan dengan manusia lainnya. dan sarung tangan jangan ketinggalan, tentu manusia tak mau kelihatan perbuatan kotornya. Tapi lebih baik jika memperlihatkan kebaikkan sendiri, dan tutupilah kotornya tanganmu.
Memang sangat unik. Tapi  keunikkan itu terkadang menjijikkan.
Bahkan kesempurnaan ibarat seperti utopia dalam cerita.
Mungkin kita buta akan semuanya itu.
Mungkin saja.

Jam Tangan

Aku ingin memberikan hadiah padamu Jam tangan Yang menunjukan waktu untuk kamu lalui Menghitung detik demi detik dengan sabar Mungkin aku ad...