BENAR
Ada suatu
kisah yang menarik dari seorang yang memegang teguh keyakinan akan suatu
kebenaran yang ia anggap benar.
Ia yakin bahwa
bumi ini bukanlah pusat dari tata surya. Ia melawan fatwa ‘penguasa’.
‘Penguasa’
negeri saat itu di ibaratkan sebagai penyampai kebenaran dari Tuhan, mereka
memaklumatkan diri mereka sebagai pusat dari kebenaran. Segala pendapat atau
ada doktrin yang berbeda dari apa yang disampaikan ‘penguasa’ saat itu di
anggap sesat.
Di abad itu
kegelapan ilmu pengetahuan melingkupi penguasa dan kaum cendikiawan.
Segala yang
bertentangan dengan ‘penguasa’ akan di cap sebagai penyesat.
Berabad-abad
perlawanan dilakukan oleh kaum ‘pemberontak’ terhadap ‘penguasa’. Melalui gerakan perlawanan dengan dalil-dalil para ‘pemberontak’
membuka pikiran masyarakat. Tapi ‘penguasa’ tak tinggal diam. ‘Pemberontak
ditangkap, dibunuh, disiksa, dikejar, dikucilkan, hingga dipenjara. Kebanyakkan
yang tertangkap akan berakhir tragis.
Kopernikus
dengan buku De Revolutionibus yang
melawan gereja sacara halus. Tetap dengan kenyakinan bahwa bumi bukanlah pusat
dari tata surya menghadapi penguasa gereja. Hingga bukunya di golongkan sebagai
buku yang haram dibaca.
Kemudian
seorang biarawan dari Ordo Augustinus bernama
Martin Luther memaparkan 95 dalil di Wittenberg membuat gerakan reformasi
gereja yang menjalar ke seluruh dunia dan bertahan hingga sampai saat ini.
Dua tokoh
inilah yang memegang teguh kebenaran yang mereka anggap benar. Sementara kebenaran dari pihak
paus (gereja) adalah penyimpangan dari kebenaran yang sesungguhnya.
Tapi tentu
saja ‘penguasa’ tak mau disalahkan pendapatnya. Mereka akann terus menekan kaum yang bukan penguasa atau lebih
dicap sebagai kaum ‘pemberontak’. Mereka (pemberontak) salah. Kami (penguasa)
adalah yang paling benar. Tapi sebaliknya mereka (pemberontak) menganggap diri benar, tapi mereka (penguasa)
belum benar.
Terus,
siapakah yang akan membenarkan, siapa yang paling benar dari dua belah pihak. (Karena
pertikaian terjadi karena ada dua pihak yang saling berbeda pendapat dan saling
menerang satu sama lainnya. berbahagialah pihak yang kuat, karena mereka akan
lebih mudah menyiksa yang lemah.)
Jadi siapakah
hakimnya?
Hakim yang
adil bagi ‘peguasa’ saat itu adalah Tuhan. Mereka berpendapat Tuhan seakan-akan
memberi kekuasaan kepada ‘penguasa’ untuk menentukan, mana yang lebih benar. Tentu
mereka akan memilih bahwa pendapat dari mereka.
Tapi juga
itu tak adil. Apakah Tuhan tak berhak menentukannya dengan sendiri tanpa
perantara ‘penguasa’. Apakah Tuhan sendiri tak berkuasa dibumi. Bumi yang
diciptakannya.
Tuhan
menjawab sendiri dari pertikaian ini. beberapa ratus kemudian jawaban itu
muncul. Bahwa bumi bukanlah pusat dari tata surya. Kaum yang dianggap ‘pemberontak’
menang. Tapi kaum ‘penguasa’ juga tak kalah. Hanya diluruskan saja.
Kita juga
begitu yakin akan pendapat yang kita miliki. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak sependapat dengan kita. Apakah perlu
untuk menyerang pihak yang berbeda dengan kita?
Semakin ditekan,
bukankah mereka yang memegang kenyakinannya akan merasa semakin benar.
Sementara mereka
yang menekan, seakan-akan tak bisa membenarkan kenyakinan mereka sendiri. Sehingga
mereka menekan seakan-akan tak bisa melawan dengan pendapat lagi.
Kurawa
bersaudara yakin mereka berhak mewarisi kerajaan, dan Pandawa bersaudara juga
berhak juga dengan pendapat lain. Tapi pengarang epos ini seakan-akan memainkan
cerita yang berakhir dalam peperangan.
Pandawa
menang.
Yakinkah mereka
menang dalam perang?
Bukankah mereka
sendiri kehilangan saudara-saudara mereka, apakah itu bisa disebut menang?
Mempertahankan
kenyakinan memang tak semudah mengambil barang dari dalam saku. Karena berbeda
pendapat itu selalu akan menhampiri.
Tapi Tuhan
seakan-akan membuat sesuatu itu menjadi terlihat lebih mudah. Ia tak memainkan
kekerasan dalam menunjukkan kebenarannya. Tapi Tuhan mengunakan waktu untuk
menjawab pertikaian itu.
Hanya kita
manusia yang mengunakan kekerasan dalam
menunjukkan kebenaran. Sementara Sang Pemilik kebenaran tak mengunakan
kekerasan.
Bukankah itu
kelihatan ‘menjijikan’. Mengong-gong dijalanan tanpa maksud. Bahkan menyerang
manusia lainnya seakan-akan
memperlakukan manusia sama seperti
binatang.
Mengunakan kata-kata
yang menyakitkan dan menusuk sampai ke bagian terdalam. Bukankah manusia itu
tak pernah puas merendahkan manusia lainnya. Sampai mendapat pengakuan dari
pihak lain.
‘Kebenaran’
dari mereka yang mempertahankan kebenaran dengan mengunakan ‘api’, seperti mengunakan api untuk mengusir tikus
dari ladang.
Tapi seakan-akan
mata mereka menjadi buta.
Buta akan
dasar kebenaran itu sendiri. Bahkan tindakan mereka melawan kebenaran.