Sabtu, 27 April 2013

MayDay


MAYDAY

                Saya teringat akan sebuah kenyataan, bahwa tanggal 1 Mei setiap tahunnya selalu ada peringatan besar bagi kaum buruh di kota-kota besar, hari dimana pemilik modal merasa gelisah dan terganggu atas aktivitas kaum buruh ini.
                Bagi saya sendiri, Mayday ini bukan hanya aktivitas turun ke jalan menyuarakan aspirasi para buruh. Tapi 1 Mei ini sendiri adalah sebuah perayaan besar bagi kaum buruh, perayaan atas kemenangan terhadap kaum kapitalis.
                Kaum buruh populer di abad ke 19, abad ketika kapitalisme merajai dunia. Abad ketika seseorang bekerja 20 jam dalam seharinya. Abad ketika anak kecil bekerja 18 jam dalam sehari-hari di pabrik. Merekalah kaum buruh pertama-tama yang meletuskan sebuah perlawanan terhadap kaum ‘penghisap darah’.
                Di abad itu juga dua tokoh sosialisme sekaligus penentang kaum pemilik modal, memberikan perlawanan. Memberikan pondasi perlawanan hingga mengubah peradaban kita.
                Gerakan kaum buruh sudah memberikan warna bagi perubahan dunia. Perubahan pola berpikir, pola gerakan penuntutan terhadap ketidakadilan yang terjadi.
                Saat ini waktu kerja yang normal terjadi adalah 10 jam perhari, kalaupun lebih, hanya tak pernah sampai 20 jam per hari. Itu semua tak lain dari gerakan para buruh abad ke 19 dan abad 20 yang menuntut perubahan dalam pekerjaannya.
                Mereka adalah para pejuang dari  kaum yang tak diperhatikan. Mereka yang menjalankan sumber daya, menjalankan mesin-mesin dari pemilik modal. Kemajuaan saat ini tak lepas dari peran kaum buruh.
                Walaupun mereka bukan kaum bebas, mereka adalah kaum yang tebelenggu oleh pemilik modal. Dalam penjara ‘kebutuhan ekonomi’.
                Peringatan mayday atau 1 Mei ini adalah kemenangan ‘sehari’ atas pemilik modal. Yang mengalihkan perhatian ‘pengurus negeri’ ini untuk lebih memikirkan mereka walaupun hanya satu hari.  Gerakan mereka membuat ‘pengurus negeri’ kalang kabut, yang membuat pemilik modal rugi karena tak ada yang menjalankan modal tersebut.
                Sungguh tragis kisah para penuntut keadilan. Mereka mencari nasi dalam kesesakkan. Sedangkan ‘penggurus negeri’ sibuk mencari ‘nasi’ lebih dalam dandang didapur.
                Ini akan terus berlanjut dalam tanggis dan duka kaum buruh.
                Selama palu keadilan masih patah.
                Selama itu pula kaum buruh akan berteriak.
                Memberikan perlawan.
                Tanpa senjata api. Tanpa pisau.
                Senjata mereka hanya suara dalam keheningan.
               

Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...