MAYDAY
Saya teringat akan sebuah
kenyataan, bahwa tanggal 1 Mei setiap tahunnya selalu ada peringatan besar bagi
kaum buruh di kota-kota besar, hari dimana pemilik modal merasa gelisah dan
terganggu atas aktivitas kaum buruh ini.
Bagi saya sendiri, Mayday ini
bukan hanya aktivitas turun ke jalan menyuarakan aspirasi para buruh. Tapi 1
Mei ini sendiri adalah sebuah perayaan besar bagi kaum buruh, perayaan atas
kemenangan terhadap kaum kapitalis.
Kaum buruh populer di abad ke
19, abad ketika kapitalisme merajai dunia. Abad ketika seseorang bekerja 20 jam
dalam seharinya. Abad ketika anak kecil bekerja 18 jam dalam sehari-hari di
pabrik. Merekalah kaum buruh pertama-tama yang meletuskan sebuah perlawanan
terhadap kaum ‘penghisap darah’.
Di abad itu juga dua tokoh
sosialisme sekaligus penentang kaum pemilik modal, memberikan perlawanan.
Memberikan pondasi perlawanan hingga mengubah peradaban kita.
Gerakan kaum buruh sudah
memberikan warna bagi perubahan dunia. Perubahan pola berpikir, pola gerakan
penuntutan terhadap ketidakadilan yang terjadi.
Saat ini waktu kerja yang normal
terjadi adalah 10 jam perhari, kalaupun lebih, hanya tak pernah sampai 20 jam
per hari. Itu semua tak lain dari gerakan para buruh abad ke 19 dan abad 20
yang menuntut perubahan dalam pekerjaannya.
Mereka adalah para pejuang
dari kaum yang tak diperhatikan. Mereka
yang menjalankan sumber daya, menjalankan mesin-mesin dari pemilik modal.
Kemajuaan saat ini tak lepas dari peran kaum buruh.
Walaupun mereka bukan kaum
bebas, mereka adalah kaum yang tebelenggu oleh pemilik modal. Dalam penjara
‘kebutuhan ekonomi’.
Peringatan mayday atau 1 Mei ini
adalah kemenangan ‘sehari’ atas pemilik modal. Yang mengalihkan perhatian
‘pengurus negeri’ ini untuk lebih memikirkan mereka walaupun hanya satu
hari. Gerakan mereka membuat ‘pengurus
negeri’ kalang kabut, yang membuat pemilik modal rugi karena tak ada yang
menjalankan modal tersebut.
Sungguh tragis kisah para
penuntut keadilan. Mereka mencari nasi dalam kesesakkan. Sedangkan ‘penggurus
negeri’ sibuk mencari ‘nasi’ lebih dalam dandang didapur.
Ini akan terus berlanjut dalam
tanggis dan duka kaum buruh.
Selama palu keadilan masih
patah.
Selama itu pula kaum buruh akan
berteriak.
Memberikan perlawan.
Tanpa senjata api. Tanpa pisau.
Senjata mereka hanya suara dalam
keheningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar