Menurut Wikipedia
rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa
perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya
atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk
mengatur ras yang lain.
Rasisme adalah kata
yang tidak asing bagi kita, di belahan dunia manapun rasisme juga terjadi, baik
itu di Italia, Inggris, Jerman, Amerika, China, Kamboja dan Indonesia sendiri.
Ini seperti penyakit yang melanda beberapa masyarakat yang menganggap manusia
lain yang berbeda dalam hal budaya, kesukuan dan kepercayaan adalah lebih
rendah dari manusia lainnya, dan terdapat intimidasi baik verbal maupun
non-verbal oleh oknum tertentu terhadap orang-orang yang dianggap minoritas.
Dalam era globalisasi
dan semakin mudahnya akses informasi hingga penyebaran informasi yang semakin
cepat menyebabkan rasisme bisa semakin tumbuh subur. Apalagi di media sosial,
baik twitter, facebook dan instagram
adalah salah satu media sosial yang memiliki penguna terbanyak menjadi sarana
tumbuh suburnya rasisme.
Indonesia saat ini
menjadi lahan subur rasisme, menurut saya pribadi panasnya suasana politik
hingga kebebasan mengunakan media sosial yang tidak terbatas menjadi salah satu
penyebab tumbuh suburnya paham rasisme. Kebebasan yang tidak bertanggungjawab
digunakan oleh segelintir oknum untuk berlaku rasisme. Sangat mudah sekali
menemukan pernyataan yang bersifat rasis, dalam bentuk tulisan maupun
video-video yang menjadi viral saat ini.
Indonesia memiliki sejarah
panjang, didirikan oleh founding fathers
dengan darah dan ideologi-ideologi yang melahirkan Indonesia, sekarang dirusak
oleh prilaku beberapa oknum yang menyerang secara verbal maupun non-verbal
manusia lainnya yang dianggap berbeda baik secara agama, kesukuan dan ras.
Prilaku rasisme yang
berujung pada etnosentrisme, etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan
lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri (sumber Wikipedia).
Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau
kebuyaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, prilaku,
kebiasaan, dan agama. Etnosentrisme mungkin tampak atau tidak tampak, meski
dianggap sebagai kecendrungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme
memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat (Wikipedia).
Mungkin kita secara
sadar atau tidak sadar juga berprilaku rasis di media sosial, cukup click dan share peryataan yang bernada rasisme atau video-video ajakan
rasisme maupun etnosentrisme secara tidak langsung kita adalah pelaku rasisme.
Pemahaman yang sempit tentang kehidupan berbangsa, moral-moral dimasyarakat
menjadi tidak penting ketika hal-hal tentang perbedaan agama, kesukuan dan ras
menjadi lebih penting daripada kehidupan berbangsa dan moral itu sendiri.
Melihat agama lain,
suku lain, ras lain adalah ancaman bagi orang lain merupakan salah satu sikap
rasisme dan etnosentrisme. Tidak terkecuali mereka yang secara tidak langsung
memiliki paham-paham garis keras yang beranggapan bahwa mereka lebih benar dari
orang lain (dalam hal SARA) adalah bukti dari ketidakmampuan kita dalam
memahami Pancasila dan mengesampingkan moral-moral masyarakat hingga kehidupan
berbangsa.
Bahwa bangsa Indonesia
ini dibangun oleh founding fathers bukan
untuk satu golongan saja, bukan untuk satu agama saja, tapi untuk semua orang
yang lahir dan tumbuh bersama dengan tanah air pertiwi. Tidak peduli mereka
yang lahir dari kandungan suku manapun, tidak peduli mereka yang memeluk agama
apapun, negara ini dibangun untuk menjadi rumah bagi siapapun.