Selasa, 05 Juni 2018

ANTARA MINKE, IQBAL DAN WARGANET



Minke memang hanya tokoh fiksi yang diciptakan oleh Pramoedya A Toer (bukan Tere Liye), sebagai pembaca Tetralogi Buru karya Pramoedya saya sempat membaca beberapa komentar SoniQ (aliansi fans Iqbal) yang mengatakan “Lagian Pramoedya itu siapa sih? Cuman penulis baru terkenal kayaknya. Masih untung dijadiin film, dan si Iqbaal mau meranin karakternya biar laku bukunya” (sumber mojok.co). Dan saya pun geleng-geleng kepala membaca komentar ini.

Sebenarnya saya memang tidak bisa menyalahkan komentar warganet yang memang tidak mengetahui siapa Pramoedya Ananta Toer. Dan saya pun tidak bisa menyalahkan Iqbal karena memerankan Minke, atau saya juga tidak bisa menyalahkan Pak Harto atas pelarangan buku karya Pramoedya. Atau saya salahkan Tere Liye?

Warganet memang bebas berkomentar dalam segala hal, karena menjadi warganet tidak perlu punya KTP Warganet. Warganet akan mengomentari film Bumi Manusia, Warganet akan menilai apakah Iqbal pantas memerankan Minke, Warganet akan menjadi kritikus sastra yang hebat, dan tentu warganet bebas berkomentar apa saja.

Minke pun sebenarnya tidak perlu juga ribut tentang siapa yang pantas memerankannya, karena Minke sudah lama wafatnya dalam kesendiriannya. Hanya isak tangis penuh kasih sayang Nyai dan cinta Annelies mungkin tidak akan hilang. Tapi perjuangan hanya menjadi catatan di rumah kacanya Pangemanan.

Kesibukkan warganet berkomentar tentang pantas tidaknya Iqbal, Falcon mungkin mempunyai pertimbangan lain yang memang harus kita pahami. Bagi fans SoniQ (aliansi fans Iqbal) dianjurkan untuk menonton Bumi Manusia, bukunya ditulis oleh Pramoedya bukan Tere Liye. Karena tentu saja pertimbangan komersil lebih tinggi dari pertimbangan idealisme dan -isme -isme lainnya.

Mari sembari menanti filmnya, bagaimana kalau kita membaca ulang Bumi Manusia karya Pramoedya (sekali lagi bukan karya Tere Liye).

Minggu, 04 Februari 2018

MENJADI MANUSIA


Beberapa waktu lalu saya menonton video seorang berbicara bahwa tujuan dari manusia itu sendiri adalah menjadi manusia. Pernyataan yang sederhana tapi sebenarnya cukup rumit. Sebenarnya apa itu manusia?

Siapakah manusia itu? Apakah penulis sendiri manusia?

Menurut KBBI manusia : n makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang. Dan tentu saja kita adalah manusia. Tapi apakah benar bahwa kita manusia seutuhnya?

Socrates mempunyai pandangan mengenai hakikat dari manusia itu sendiri : “Manusia adalah manusia yang rasional. Manusia mungkin bervariasi dalam kemampuan rasionalitasnya, mungkin mereka dapat kekurangan secara mental, atau mungkin mereka malah menolak kerasionalitasan. Tetapi bagaimanapun juga definisi hakikat manusia secara universal tetaplah memegang kebenaran. Manusia dapat membedakan kebajikan, pengetahuan dari ketidaktahuan. Manusia dapat mengetahui kebaikan, dari mengetahuinya dia dapat mengikutinya. Untuk kepada orang yang tidak mengenal kebaikan dia akan memilih mengikuti keburukan.”

Manusia menurut pandangan Socrates adalah manusia yang rasional. Manusia seharusnya memegang kebenaran, dan yang memegang kebenaran akan menuntun manusia lainnya (yang tidak mengenal kebenaran) untuk mengikuti kebenaran/kebaikan.

Dalam hal ini mungkin kita merasa egois bahwa kita adalah manusia yang benar. Benar menurut pandangan kita sendiri. Tapi tidak bagi orang lain. Terus bagaimana kita dapat mengetahui kebenaran itu? Mungkin disinilah peran rasionalitas sebagai seorang manusia diperlukan, yang membedakan kita dengan mahkluk lainnya adalah akal. Apakah kita sudah berpikir rasional? Atau kita masih belum mencapai tahap manusia rasional itu?

Menjadi rasional mungkin mudah, tapi bagaimana rasional yang berujung pada egoisme apakah dapat dibenarkan? Tentu tidak. Egoisme mungkin hasil dari ketidakmampuan kita dalam berpikir rasional. Menjadi manusia rasional adalah hal yang sulit. Kalau pun itu mudah, mungkin saudara kita di Asmat tidak akan terkena gizi buruk, kita tidak akan menebarkan kebencian, atau Afrika tidak hanya menjadi ladang eksploitasi dan peperangan, mungkin juga presiden Trump tidak akan berkonfrontasi dengan presiden Jong-Un.

Kita perlu berpikir rasional untuk dapat menjadi manusia seutuhnya. Kita lahir dengan berbagai kebutuhan biologis kata Plato. Plato mengungkapkan bahwa bagian yang paling rasional adalah jiwa, dan jiwa dibagi tiga bagian, yang mempertanyakan, semangat dan hasrat. Dan interaksilah yang membuat kita benar-benar menjadi manusia.

Kita mungkin belajar menjadi seorang manusia seutuhnya, yang berpikir rasional. Akal budi dipergunakan sebagaimana mestinya, mencari pengetahuan, dan memiliki harsat pada kehidupan.

Menjadi manusia rasional akan membuat lingkungan semakin baik. Lingkungan ini membutuhkan orang-orang yang berpikir rasional, haus akan pengetahuan, memiliki hasrat dan berinteraksi positif pada lingkungan sosialnya. Sehingga akan meminimalisir egoisme pada saat interaksi sosial.

Dale Carniege menulis dalam bukunya bahwa orang-orang itu paling suka berbicara tentang dirinya sendiri. Dan tentu saja kita sangat suka berbicara tentang diri kita sendiri daripada mendengarkan orang lain. Semakin banyak orang berbicara tentang dirinya sendiri, maka akan sedikit rasionalitas dalam lingkungan, karena ini semua tentang AKU bukan KITA.

Kita mungkin adalah manusia. Tapi apakah kita manusia seutuhnya? Apakah kita manusia yang berpikir rasional? Apakah kita manusia berakal budi? Apakah kita manusia hasil dari evolusi?

Tapi jika memang ada rasionalitas dalam lingkungan kita, mungkin akan sedikit kebencian dalam lingkungan kita, mungkin akan sedikit penderitaan, mungkin akan sedikit kelaparan disekitar kita, mungkin akan sedikit peperangan.

Tapi kita masih jauh dari rasionalitas, kita masih suka membuat batas. Antara aku dan kamu, antara kita dengan mereka, antara milikku dengan milikmu, antara kita semua. Mungkin jikalau ada mahkluk di planet lain akan menulis begini tentang manusia di bumi “Manusia suka membuat batas di antara manusia”.

Semoga kita manusia berpikir rasional dan haus akan pengetahuan. Dan berpegang teguh pada kebenaran dan menuntun mereka yang memilih keburukan kepada jalan kebenaran.


Jam Tangan

Aku ingin memberikan hadiah padamu Jam tangan Yang menunjukan waktu untuk kamu lalui Menghitung detik demi detik dengan sabar Mungkin aku ad...