-->
Catatan 10 Oktober 2011
BANGSA
“ PEMIMPI ‘’
Seorang ayah dengan
kulit hitam pekat, sambil memegang pacul mengaruk tanah di atas sakan TI (
tambang inkonvensional ). Berjuang sambil berharap bahwa hari ini ia bisa
membawa pulang beberapa kilogram timah. Mata nya yang sudah layu, kulitnya yang
terbakar matahari, terus berjuang untuk mencari rejeki yang berasal dari perut
bumi yang kaya ini, rejeki itu bernama timah.
Timah bagaikan nafas
kebanggaannya, karena apa, melalui timah itu, ia berjuang untuk memberikan yang
terbaik bagi anak-anaknya. Memberikan gizi yang cukup, pakaian yang layak,
bahkan pendidikan yang pantas bagi anak-anaknya. Bahkan ia bermimpi, suatu saat
anaknya itu akan menjadi kebanggaan bagi keluarganya suatu saat nanti, entah ia
bisa melihatnya atau tidak suatu saat nanti. Ia tak akan pernah tahu.
Itu hanya sebuah kisah
fiktif yang belum tentu mempunyai kebenaran yang nyata. Tapi sepenggal kisah
tersebut bisa mewakili rakyat “ Pencari Timah ‘’. Keinginan mereka bekerja,
bukan hanya soal perut, bukan hanya soal kedamaian,juga bukan soal kebahagiaan.
Tapi lebih dari itu, mereka bekerja untuk kebanggaan mereka, yaitu Anak – Anak
mereka.
Tak soal jika mereka
tidak makan hari ini. Tak jadi soal jika mereka tinggal di gubuk papan. Tapi
menjadi soal bagi mereka jika anak – anak mereka bernasib sama dengan mereka. Kebanggan
mereka adalah melihat anak – anak mereka hidupnya lebih baik dari mereka. Ataupun
saat mereka melihat foto anak – anak mereka dengan pakaian sarjana, maka dengan
bangga mereka memamerkan nya. Itulah kebanggaan mereka. Masa depan yang lebih
baik bagi anak – anak mereka.
Pernahkah kita
terlintas di pikiran kita saat di masa lalu, saat kita masih menjadi bagian
dari Sumatera Selatan, saat masih berada dalam cengkraman Orde Baru. Kita tak
memiliki kebebasan dalam hal membangun Bangka Belitung ini, pembangunan ibarat
terpusat di kota Palembang. Bagian kita, hanya bagian terkecil dari perencanaan
mereka mungkin.
Tapi sekarang berubah,
kita telah menjadi provinsi, dengan otonomi daerah.
Tapi apakah semua
rakyat bebas melakukan apa saja bagi provinsi mereka? Tidak.
Bukan para buruh, bukan
para karyawan swasta, bukan para pencari timah yang menentukan arah kebijakan
ekonomi Bangka Belitung. Bukan mereka yang merencanakan pembangunan ini. Tapi
mereka adalah para pelaku ekonomi. Bangka Belitung memerlukan mereka.
Adalah mereka yang
dipilih oleh rakyat, yang bekerja di DPRD Kabupaten/Kota maupun di DPRD
provinsi, bahkan seorang walikota, Bupati dan Gubernur dipilih oleh rakyat.
Kami memercayakan pembangunan dan perencanaan ini bagi mereka yang mampu
Membangun daerah ini untuk lebih baik lagi. Lebih baik dari saat masih berada
dalam “gengaman” Sumatera Selatan.
Tapi kami tak memilih
para pembantu mereka, para Sekda, penjabat Departemen – Departemen maupun para
Pegawai Negeri Sipil. Sebab itu adalah jabatan bagi mereka yang memiliki
“logistic” yang lebih yang bisa dipertaruhkan dan jabatan yang yang berhubungan
dengan “kekeluargaan”. Bukan rakyat yang memilih, tapi setidaknya mereka harus
lebih mampu membangun.
Dalam buku “ Bung Karno
Penyambung lidah Rakyat”, Bung Karno bertanya kepada ketua-ketua partai “
Apakah rencana Saudara untuk masa depan, jika saudara memegang kekuasaan?”.
Singkat cerita, rencana yang di paparkan sesungguhnya KABUR dan TIDAK TEGAS.
Bahkan dikatakan sama dengan tokoh-tokoh politik. Yang mengimpikan “gedung yang
indah”, tetapi BAGAIMANA MEMBANGUNNYA—itulah yang tidak mereka ketahui.
Benar, BAGAIMANA
MEMBANGUN gedung yang indah? Apakah mereka tahu bagaimana membangun gedung yang
indah. Andaikan gedung yang indah itu kita ibaratkan provinsi kita, Bangka
Belitung. Bagaimana cara membangun Bangka Belitung ini?
Apakah mereka mampu?
Menjadi pertanyaan,
apakah mereka mampu? Tentu saja, mereka orang terpelajar, pendidikan mereka
tinggi. Namun pada saat mereka tak mampu membangun dan gagal, apakah dengan
gentlemen, mereka meletakkan jabatan dan berkata “ maafkan saya, saya tak mampu
dan gagal”. Tidak. Bahkan mereka ingin lebih lama lagi menduduki jabatan
tersebut dan enggan menyerahkan tampuk kekuasaan mereka kepada yang lebih
mampu. Lobi-lobi pun mulai dijalankan.
Bagaimana Bangka
Belitung Pasca era pertimahan berakhir, apakah sudah ada perencanaan yang
konkret apakah sudah ada rencana mengantikan era pertimahan ini. Perkebunan
atau perrtaniankah, atau pariwisata yang sedang hangat-hangat saat ini. Mau
memilih yang mana untuk di fokuskan. Apakah ada perencanaan yang sudah
berjalan.
Rakyat bahkan sudah
berandai-andai, “ lebih baik era Orde Baru, daripada era saat ini “. Itu adalah
perandai-andaian yang salah, rakyat sudah membandingkan masa lalu dangan saat
ini. Apakah kegagalan yang kita dapat saat ini, sampai-sampai rakyat putus asa.
Padahal, pergantian
orde adalah kehendak rakyat. Mereka menungangi “kuda reformasi”. Justru merasa
putus asa dengan perubahan yang dihasilkan.
Saya sempat miris
melihat surat kabar berskala nasional menuliskan tentang Sail Belitong yang
terkesan bersolek setengah hati. Padahal wisata masuk dalam kategori
pembangunan masa depan provinsi kita.
Kami mengimpikan Bangka
Beltung ini sama seperti Singapore maupun guangzhou, atau lebih dekat dengan
Jakarta kota Metropolitan, lebih diperkecil lagi, cukuplah sama dengan atau
Solo. Mengapa harus Solo? Karena Solo mencuri perhatian nasional dengan
berbagai kebijakan yang terjadi, kepemimpinan walikota nya mendapat respon
positif di media cetak nasional.
Kami hanya bisa
bermimpi, ya benar, bermimpi dan berjuang kalau suatu saat nanti masa depan
anak-anak kami lebih baik dari kami.
Ternyata bukan hanya
mahasiswa ataupun rakyat yang berdemo, tetapi para pegawai negeri pun
ikut-ikutan untuk unjuk rasa. Apakah tak ada media untuk menyampaikan aspirasi
para pegawai negeri, entahlah. Tapi “ tak ada prajurit yang menelanjangi
Jendralnya”.
Kami tak tahu dengan
perkara para “orang atas”. Kami hanya tahu harga timah, harga karet, harga
kebutuhan pokok kami, pendidikan yang harus kami bayar untuk masa depan kami.
Kami tak tahu berapa harga lobi politik saat ini?
Apakah kami hanya
menjadi pemimpi, atau mereka yang membangun yang hanya bermimpi?. Semua orang
berhak bermimpi. Tapi jangan sampai menjadi Bangsa Pemimpi. Atau mereka hanya
bisa bermimpi tapi tak bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan rakyat. Satu kata
“ tragis” memang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar