Kamis, 04 April 2013

BANGSA “ PEMIMPI ‘’

-->
BANGSA “ PEMIMPI ‘’
Catatan 10 Oktober 2011

Seorang ayah dengan kulit hitam pekat, sambil memegang pacul mengaruk tanah di atas sakan TI ( tambang inkonvensional ). Berjuang sambil berharap bahwa hari ini ia bisa membawa pulang beberapa kilogram timah. Mata nya yang sudah layu, kulitnya yang terbakar matahari, terus berjuang untuk mencari rejeki yang berasal dari perut bumi yang kaya ini, rejeki itu bernama timah.
Timah bagaikan nafas kebanggaannya, karena apa, melalui timah itu, ia berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Memberikan gizi yang cukup, pakaian yang layak, bahkan pendidikan yang pantas bagi anak-anaknya. Bahkan ia bermimpi, suatu saat anaknya itu akan menjadi kebanggaan bagi keluarganya suatu saat nanti, entah ia bisa melihatnya atau tidak suatu saat nanti. Ia tak akan pernah tahu.
Itu hanya sebuah kisah fiktif yang belum tentu mempunyai kebenaran yang nyata. Tapi sepenggal kisah tersebut bisa mewakili rakyat “ Pencari Timah ‘’. Keinginan mereka bekerja, bukan hanya soal perut, bukan hanya soal kedamaian,juga bukan soal kebahagiaan. Tapi lebih dari itu, mereka bekerja untuk kebanggaan mereka, yaitu Anak – Anak mereka.
Tak soal jika mereka tidak makan hari ini. Tak jadi soal jika mereka tinggal di gubuk papan. Tapi menjadi soal bagi mereka jika anak – anak mereka bernasib sama dengan mereka. Kebanggan mereka adalah melihat anak – anak mereka hidupnya lebih baik dari mereka. Ataupun saat mereka melihat foto anak – anak mereka dengan pakaian sarjana, maka dengan bangga mereka memamerkan nya. Itulah kebanggaan mereka. Masa depan yang lebih baik bagi anak – anak mereka.
Pernahkah kita terlintas di pikiran kita saat di masa lalu, saat kita masih menjadi bagian dari Sumatera Selatan, saat masih berada dalam cengkraman Orde Baru. Kita tak memiliki kebebasan dalam hal membangun Bangka Belitung ini, pembangunan ibarat terpusat di kota Palembang. Bagian kita, hanya bagian terkecil dari perencanaan mereka mungkin.
Tapi sekarang berubah, kita telah menjadi provinsi, dengan otonomi daerah.
Tapi apakah semua rakyat bebas melakukan apa saja bagi provinsi mereka? Tidak.
Bukan para buruh, bukan para karyawan swasta, bukan para pencari timah yang menentukan arah kebijakan ekonomi Bangka Belitung. Bukan mereka yang merencanakan pembangunan ini. Tapi mereka adalah para pelaku ekonomi. Bangka Belitung memerlukan mereka.
Adalah mereka yang dipilih oleh rakyat, yang bekerja di DPRD Kabupaten/Kota maupun di DPRD provinsi, bahkan seorang walikota, Bupati dan Gubernur dipilih oleh rakyat. Kami memercayakan pembangunan dan perencanaan ini bagi mereka yang mampu Membangun daerah ini untuk lebih baik lagi. Lebih baik dari saat masih berada dalam “gengaman” Sumatera Selatan.
Tapi kami tak memilih para pembantu mereka, para Sekda, penjabat Departemen – Departemen maupun para Pegawai Negeri Sipil. Sebab itu adalah jabatan bagi mereka yang memiliki “logistic” yang lebih yang bisa dipertaruhkan dan jabatan yang yang berhubungan dengan “kekeluargaan”. Bukan rakyat yang memilih, tapi setidaknya mereka harus lebih mampu membangun.
Dalam buku “ Bung Karno Penyambung lidah Rakyat”, Bung Karno bertanya kepada ketua-ketua partai “ Apakah rencana Saudara untuk masa depan, jika saudara memegang kekuasaan?”. Singkat cerita, rencana yang di paparkan sesungguhnya KABUR dan TIDAK TEGAS. Bahkan dikatakan sama dengan tokoh-tokoh politik. Yang mengimpikan “gedung yang indah”, tetapi BAGAIMANA MEMBANGUNNYA—itulah yang tidak mereka ketahui.
Benar, BAGAIMANA MEMBANGUN gedung yang indah? Apakah mereka tahu bagaimana membangun gedung yang indah. Andaikan gedung yang indah itu kita ibaratkan provinsi kita, Bangka Belitung. Bagaimana cara membangun Bangka Belitung ini?
Apakah mereka mampu?
Menjadi pertanyaan, apakah mereka mampu? Tentu saja, mereka orang terpelajar, pendidikan mereka tinggi. Namun pada saat mereka tak mampu membangun dan gagal, apakah dengan gentlemen, mereka meletakkan jabatan dan berkata “ maafkan saya, saya tak mampu dan gagal”. Tidak. Bahkan mereka ingin lebih lama lagi menduduki jabatan tersebut dan enggan menyerahkan tampuk kekuasaan mereka kepada yang lebih mampu. Lobi-lobi pun mulai dijalankan.
Bagaimana Bangka Belitung Pasca era pertimahan berakhir, apakah sudah ada perencanaan yang konkret apakah sudah ada rencana mengantikan era pertimahan ini. Perkebunan atau perrtaniankah, atau pariwisata yang sedang hangat-hangat saat ini. Mau memilih yang mana untuk di fokuskan. Apakah ada perencanaan yang sudah berjalan.
Rakyat bahkan sudah berandai-andai, “ lebih baik era Orde Baru, daripada era saat ini “. Itu adalah perandai-andaian yang salah, rakyat sudah membandingkan masa lalu dangan saat ini. Apakah kegagalan yang kita dapat saat ini, sampai-sampai rakyat putus asa.
Padahal, pergantian orde adalah kehendak rakyat. Mereka menungangi “kuda reformasi”. Justru merasa putus asa dengan perubahan yang dihasilkan.
Saya sempat miris melihat surat kabar berskala nasional menuliskan tentang Sail Belitong yang terkesan bersolek setengah hati. Padahal wisata masuk dalam kategori pembangunan masa depan provinsi kita.
Kami mengimpikan Bangka Beltung ini sama seperti Singapore maupun guangzhou, atau lebih dekat dengan Jakarta kota Metropolitan, lebih diperkecil lagi, cukuplah sama dengan atau Solo. Mengapa harus Solo? Karena Solo mencuri perhatian nasional dengan berbagai kebijakan yang terjadi, kepemimpinan walikota nya mendapat respon positif di media cetak nasional.
Kami hanya bisa bermimpi, ya benar, bermimpi dan berjuang kalau suatu saat nanti masa depan anak-anak kami lebih baik dari kami.
Ternyata bukan hanya mahasiswa ataupun rakyat yang berdemo, tetapi para pegawai negeri pun ikut-ikutan untuk unjuk rasa. Apakah tak ada media untuk menyampaikan aspirasi para pegawai negeri, entahlah. Tapi “ tak ada prajurit yang menelanjangi Jendralnya”.
Kami tak tahu dengan perkara para “orang atas”. Kami hanya tahu harga timah, harga karet, harga kebutuhan pokok kami, pendidikan yang harus kami bayar untuk masa depan kami. Kami tak tahu berapa harga lobi politik saat ini?
Apakah kami hanya menjadi pemimpi, atau mereka yang membangun yang hanya bermimpi?. Semua orang berhak bermimpi. Tapi jangan sampai menjadi Bangsa Pemimpi. Atau mereka hanya bisa bermimpi tapi tak bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan rakyat. Satu kata “ tragis” memang.



Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...