Catatan 19 September 2011
Salah
satu media cetak nasional menuliskan hal
begini bahwa, berakhirnya Era Orde baru mewarnai citra perpolitikan di
Indonesia, dari kekuasaan tertinggi di pegang oleh Eksekutif kemudian dialihkan
ke gengaman Legislatif setelah mengalami
amandemen UUD 1945 tiga kali dalam kurun waktu tiga tahun ( 1999 – 2001 )
semakin meneguhkan bahwa badan legislatif semakin kuat mengenggam kekuasaan,
dari semula hanya sebagai lembaga stempel pemerintah hingga sebagai pembentuk undang-undang.
Pergeseran
kekuasaan ini cukup memberi warna bagi sejarah perpolitikan di Indonesia,
tetapi apakah perubahan yang diinginkan oleh para pejuang reformasi ini sudah
membuat citra perpolitikan semakin baik? Sungguh miris memang jajak pendapat
yang dilakukan oleh kompas edisi senin 5 September 2011 dimana penilaian publik
terhadap citra DPR yang hanya 20% menilai Baik dan 80% BURUK.
Semakin
besar kekuasaan yang diberikan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki
citra pemerintah yang di anggap sudah rusak pada Era Orde baru akibat praktek
KKN. Tetapi kenyataan berbalik saat ini, justru yang terjadi adalah
penyalahgunaan kekuasaan yang ada. Berbagai kepentingan individu maupun
kelompok terjadi di lembaga superior ini, bahkan kepentingan rakyat ataupun
publik sudah semakin tersingkirkan. Kasus suap wisma atlet menjadi contoh bahwa
kinerja DPR dalam pengawasan dan penyusunan anggaran sudah berada di titik
terendah. Belum lagi persoalan Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN ) yang
bisa menjadi payung sosial masyarakat justru tergerus oleh kepentingan para
petinggi negeri ini.
Para
wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, justru menjadi
penyambung lidah elite berkuasa. Harus menunggu berapa lama lagi negeri yang
kita banggakan bisa menjadi negeri yang terhormat dimata dunia, bahkan negeri
ini sendiri tak bisa mengayomi masyarakat yang ada. Pada era presiden Sukarno,
negeri ini akan diramalkan menjadi salah satu negeri yang berpengaruh di dunia.
Sebaliknya China yang dilanda perang saudara dan kemiskinan selama berpuluh
tahun, justru menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke dua di dunia.
Apalagi malaysia yang dulu belajar dari negeri ini berada di depan kita saat
ini.
Bagaimana
kita harus bertanggung jawab pada para pejuang yang memperjuangkan kemedekaan
dari kolonialisme barat, kita lah yang menyebabkan bangsa ini tererumus ke
dalam ketidak adilan dan ketiadaan kehormatan dan wibawa di mata dunia.
Keberanian
Apakah
cukup butuh sifat BAIK saja dalam menjadi seorang wakil rakyat, TIDAK.
Dibutuhkan keberanian dan tekad yang kuat akan komitmen untuk menjadi
penyambung lidah rakyat, karena ia akan
berada di antara kawanan serigala yang selalu siap untuk menjatuhkan setiap
saat. Effendi choirie dan Lily wahid sudah merasakan akibat menjadi orang
BERANI menentang kebijakan partainya sendiri, dengan akibat terusir dari
partainya.
Di
provinsi kita masih ingat akan keberanian dari mantan bupati Belitung timur,
Basuki T purnama selama ia menjabat sebagai anggota DPRD, ia dengan berani menolak
mengambil uang SPPD fiktif bahkan ia juga berani langsung terjun kemasyarakat
dan mendengarkan keluhan rakyat, sementara angota lain pada mangkir.
Saat
ini masih adakah sesosok wakil rakyat yang mampu memberikan perbedaan dalam
kelembagaan dimana ia berada? Banyak orang mengaku dirinya baik hati, tetapi
tidak sedikit dari mereka yang kalah dalam perjalanannya. Sebab tekad mereka bukan
sebagai wakil rakyat, tetapi sebagai wakil dari elite politik. Waktu sudah
menunjukkan kebenarannya, fakta sudah terjadi, apakah kita masih berdiam
melihat semua ini. Kitalah yang seharusnya membuat perbedaannya, wakil rakyat
sudah lupa akan fungsi dan sumpahnya. Dimanakah yang namanya suara rakyat
berada, apakh ia berrsembunyi di bawah kemewahan dan kenikmatan yang ada?
Sejauh
mana tindak laku para elite politik yang ada saat ini. Jika Napoleon Bonaparte
menempatkan saudara dan kerabatnya di setiap daerah jajahan untuk diangkat
menjadi raja atau peguasa di masing-masing koloni yang dikuasainya supaya
melangengkan kekuasaan Napoleon. Bagaimana, apakah saat ini masih ada pemimpin
yang bertingkah seperti Napoleon yang mementingkan kekeluargaan dalam setiap
kebijakan politiknya ataukah lebih mengedepankan kualitas dan mentalitas
seseorang dalam setiap kebijakannya politiknya.
Kita
terlalu santai menyingkapi setiap kejadiaan
yang terjadi di sekitar kita, negeri ini membutuhkan seorang wakil
rakyat yang punya keberanian untuk melawan arus yang ada, dan harus siap untuk
ditempatkan di tengah-tengah serigala.
Mungkin
masih ingat lagu dari Iwan Fals yang berbunyi seperti ini :
Dihati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam.
Benar, dan itu
apa adanya, rakyat tak membutuhkan suara-suara kosong yang hanya mendengarkan
suara dari kolega atau mitra sahabat.
Sebab wakil rakyat adalah para pelayan rakyat, bukan yang ingin
dilayani.
Ekspektasi
masyarakat akan para wakil rakyat sudah memburuk, kepentingan golongan tampak
lebih dominan menghiasi rapat ataupun pertemuan. Kepentingan rakyat sudah
tergerus, jebolnya dana APBN setiap tahun yang bernilai puluhan trilliun
seakan-akan menjadi hujan kenikmatan bagi yang berkepentingan. Sementara rakyat
di Indonesia timur semakin kekurangan pangan akibat ketidak efektifan progam
pemerintah yang tak mampu menyentuh eleman bawah.
Jangan sampai
kita di cap oleh internasional bahwa kita adalah Negara gagal dalam membangun,
walaupun perjuangan kita melawan kolonialisme selama masa pendudukan patut
diancungi jempul, tetapi kita gagal dalam membangun negeri kita sendiri.
Jika Orde Lama
masih belum subur praktik KKN, karena masih dalam perjuangan pengmbalian
mentalitas oleh pemimpin negeri setelah 350 tahun terrjajah oleh kolonialisme.
Setelah itu barulah mengenal dan mempraktekkan KKN saat memasuki Orde Baru
karena milliaran dollar masuk ke Indonesia dengan alasan pembangunan. Pengakuan
memang kita dapat saat itu, tetapi sebenarnya saat itulah dimulai praktek untuk
kehancuran kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar