Senin, 26 Desember 2016

Semangat Marhaenisme


        Ketika saya membaca buku Penyambung Lidah Rakyat sebuah otobiografi dari Ir. Sukarno  ditulis oleh Cindy Adams ada hal yang menarik yang memang terlupakan oleh bangsa ini yaitu Marhaenisme.
        Pada awal pembacaannya mungkin kita akan menemukan sebuah cerita, tapi sebenarnya ada semangat Bung Karno yang dituangkan dalam buku ini. Kita memang tidak berjumpa langsung dengan Bung Karno, tapi dengan membaca buku ini kita dapat mengetahui semangat dan pengertian yang dalam mengenai Bung Karno. Berikut kutipan dari buku tersebut pada bagian ke enam halaman 73 :
Pada suatu pagi yang cerah aku bangun dengan keinginan untuk tidak pergi kuliah—suatu hal yang sering kulakukan. Aku terlalu sibuk dengan kegiatan politik sehingga kurang tertarik untuk pergi kuliah.
Berkeliling mengayuh sepeda tanpa tujuan—sambil berpikir—tiba-tiba kusadari aku telah sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat di mana para petani bekerja di sawahnya yang sempit, dengan luas kurang dari sepertiga hektar. Perhatianku tertuju pada seorang petani sedang mencangkul di tanah miliknya. Dia seorang diri. Pakaiannya lusuh. Gambaran yang khas ini membuatku ingin menjadikannya sebagai perlambang dari rakyatku. Aku berdiri diam di sana dan diam-diam memperhatikannya. Kami adalah bangsa yang ramah, maka aku mendekatinya. Tanyaku dalam bahasa Sunda, “Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?”
Dia menjawab “Saya, juragan.”
Kataku, “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“O, tidak, ‘gan. Saya memilikinya sendiri.”
“Apakah kau membeli tanah ini?”
“Tidak. Itu turun temurun diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”
Ketika ia terus mengali, aku pun mulai menggali…. Secara mental. Aku berpikir mengenai teoriku. Dan semakin keras berpikir, pertanyaanku semakin banyak. “Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah milikmu juga?”
“Ya, ‘gan.”
“Dan cangkul itu?”
“Ya, ‘gan.”
“Bajak?”
“Milik saya, ‘gan.”
“Lalu hasilnya untuk siapa?”
“Untuk saya, ‘gan.”
“Apa hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”
Dia mengangkat bahu sebagai bentuk kekecewaan. “Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?”
“Apakah kau menjual sebagian hasilnya itu?” aku bertanya.
“Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
“Apakah kau memperkerjakan orang lain?”
“Tidak, ‘gan . Saya tidak mampu membayarnya.”
“Apakah engkau pernah kerja pada orang lain?”
“Tidak, ‘gan. Saya harus membanting tulang, tetapi jerih-payah saya semua untuk diri saya.”
Aku menunjuk sebuah gubuk kecil. “Siapa pemilik rumah itu?”
“Itu rumah saya, ‘gan. Kecil tetapi milik saya sendiri.”
“Jadi kalau begitu,”Kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, “Semua ini milikmu?”
“Ya, ‘gan.”
….
Dan nama petani muda itu adalah Marhaen.
Bung Karno berujar:
“Para petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah korban dari sistem feodal, di mana pada awalnya petani pertama diperas oleh bangsawan pertama, dan seterusnya sampai keanak-cucunya selama berabad-abad. Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban dari imperialism perdagangan Belanda, karena nenek moyangnya telah dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya. Rakyat yang menjadi korban ini, meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen.”
Kaum Marhaen menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia saat itu di era kolonial, dimana kaum Marhaen ini sangat berbeda dengan kaum proletar Eropa. Kaum Marhaen memiliki alat produksi sendiri, tidak mempunyai tuan atau majikan dan hasil produksinya hanya cukup untuk dirinya sendiri dan keluarga. Petani kecil, pedagang kecil masuk dalam kategori ini, dan saat ini Marhaen tersebut sangat relevan bagi bangsa ini.

            Marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional, kata Bung Karno. Dan jangan lupakan ideologi bangsa ini, bahwa bangsa ini berdiri karena suatu perjuangan Bung Karno dan teman-temannya yang membidani lahirnya bangsa ini dan melepaskannya dari cengkraman kolonialisme. Marhaenisme adalah semangat kita. 

Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...