Senin, 24 Juni 2013

THUKUL

Catatan Pinggir yang ditulis oleh Goenawan Mohamad.
http://goenawanmohamad.com

Dengan judul THUKUL

Wiji Thukul adalah sebuah catatan-kaki.  Dalam kitab besar sejarah Indonesia, politik ataupun sastra, ia bukan sebuah judul atau tokoh di tengah halaman.  Ia ada di bawah lembar pagina, mungkin malah di akhir bab, dengan huruf kecil-kecil.

Tapi, seperti tiap catatan-kaki, ia mengingatkan kita bahwa ada satu informasi yang penting. Atau ia mengimbuhkan sebuah nota yang layak diperhatikan — dan menunjukkan bahwa sejilid teks yang “lengkap” sekalipun selalu meninggalkan satu dua perkara yang masih merundungnya.

Pada saat yang sama, ia juga bagian yang mendapatkan makna karena buku besar itu.  Wiji Thukul terpaut dengan sejarah perubahan politik Indonesia menjelang akhir abad ke-20, ketika demokratisasi bergerak lagi melintasi penindasan, kekerasan, bahkan pembunuhan.  Dalam arti tertentu, ia ikut mendapatkan
kemenangan. Tapi ia pemenang yang tak membawa pialanya ke rumah. Ketika rezim yang dilawannya runtuh, ia hilang. Mungkin ia diculik dan dibunuh, seperti beberapa aktivis pro-demokrasi lain, tanpa meninggalkan jejak.

Saya sedih tiap kali mengingat itu. Kami gagal bertemu senja itu di Kedai Tempo di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur. Thukul, yang berminggu-minggu berhasil disembunyikan di sebuah loteng untuk menghindari penangkapan militer, seakan-akan melanjutkan status kaburnya. Ia mendadak jauh dari jangkauan teman-teman sendiri, ketika kami semua menduga bahwa para pembunuh, setelah Suharto jatuh, sudah tak punya daya  lagi dan mereka yang di bawah tanah bisa bebas ke luar.

Tak adakah happy end bagi  orang krempeng ini?  Diakah kelanjutan si bocah cilik yang selamanya kalah dalam “Megatruh Solidaritas”?
akulah bocah cilik kurus itu
yang tak pernah menang bila berkelahi
Tapi bila potret diri dalam sajak ini muram, tak berarti ia kelam. “Megatruh” jauh dari sikap mengasihani diri. Di dalamnya ada kesakitan yang lebih menggores ketimbang kekalahan “aku” si anak sial itu:
… kudengar kabar
seorang kawan kita mati terkapar
mati ditembak mayatnya dibuang
kepalanya koyak
darahnya mengental dalam selokan
Dalam beberapa bait saja, sajak ini berhasil memotret satu ruang dan waktu sosial-politik Indonesia.  Ada anak yang menjual gelang emaknya untuk bisa bermain dadu lalu mengais-ngais tempat sampah untuk beroleh beberapa butir kacang.  Ada seorang pemuda yang mati ditembak dan diterlantarkan di selokan (entah kenapa).

Agaknya satu ciri sastra Indonesia pasca-kemerdekaan adalah kemiskinan, represi, dan kekerasan politik yang tak cuma sekali muncul dalam puisi. Pada 1961 terbit sajak Agam Wispi, “Matinya Seorang Petani”. Karya penyair LEKRA yang terkenal ini bercerita tentang petani yang ditembak mati ketika memprotes ketidak-adilan di Tanjung Morawa:
 dia jatuh
rubuh
satu peluru dalam kepala

ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma dapat bangkainya
Sajak itu dilarang beredar oleh penguasa militer di awal “Demokrasi Terpimpin”. Ironis atau tidak, peristiwa yang mirip terjadi di akhir masa itu, 1965.

Seorang mahasiswa di Jakarta mati terkena peluru tentara ketika ia ikut berdemonstrasi menentang kenaikan harga-harga yang menekan hidup orang sekelas penjual rambutan di tepi jalan. Taufiq Ismail (yang menerbitkan sajaknya dengan nama samaran; ia termasuk sastrawan pendukung “Manifes Kebudayaan” yang dibrangus) menulis suasana protes dan berkabung di kampus Salemba saat itu:
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
Tak perlu ditegaskan lagi: sajak Thukul,  Wispi, dan Taufiq adalah tiga rekaman tentang yang traumatik, tapi berulang, dalam sejarah Indonesia modern.  Andai kita tak kenal data biografis masing-masing penyair, (yang berada dalam posisi politik yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan), kita akan menemukan variasi atas satu thema:  kekuatan yang bersenjata membunuh orang yang tak bersenjata, dan kekuasaan dicoba ditegaskan.

Tapi saya rasa Thukul berbeda: ia adalah kepolosannya. Jika tiga anak kecil dalam sajak Taufiq adalah satu device buat menegaskan kontras yang tajam antara kepolosan dan efektifnya kekuasaan, dalam sajak Thukul si anak dan si polos itu tak cuma datang dari luar.  Kekuasaan yang laten dan brutal menyengat langsung tubuhnya.

Mungkin sebab itu sajaknya (tak hanya yang saya kutip ini) terasa longgar, seperti suara anak yang seenaknya dalam ekspresi. Sajak Taufiq menjaga bentuknya dalam imaji-imaji yang minimalis, lugas, deskriptif. Sajak Wispi menata langkahnya  ke klimaks dengan ketegangan di tiap baris, ketika dengan  pathos yang diam sang pencerita menyatukan diri dengan si korban.

Sajak Thukul lain: ekspresinya yang longgar terasa ketika dibiarkannya dirinya memakai kata Jawa seperti nang (“buyung”) dan simbok (“emak”), tak peduli akan pahamkah pembacanya di Fakfak. Ia terbebas dari beban keinginan menampakkan kepiawaian puitik. Mungkin karena ia begitu berkelindan dengan kemelaratan, ia cuekkan keindahan.

Tapi bisakah keindahan dicuekkan di “rumah-rumah miring”?  Käthe Kollwitz, perupa sosialis Jerman (1867-1945), hidup dengan kaum buruh yang melata di Berlin.  Aneh atau tak aneh, baginya kaum buruh semata-mata “indah.” Das Proletariat war für mich eben Schön. 

Tapi “yang indah” memang bisa meluas: semacam tarikan cinta yang misterius, yang membuat  sajak-sajak Thukul tak melihat dengan jijik benda-benda penanda kekumuhan di sekitarnya. Itu sebabnya ia tak sekedar menulis teriakan, tapi puisi: suara lirih yang akrab dan tajam di catatan-kaki.

Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...