Kamis, 13 Juni 2013

ILEGAL



Sebuah Cerita . . . 1
ILEGAL

. . .
Ada seorang pemuda yang sedang mengais rezeki dalam sebuah pertambangan. Hanya bercelana jeans sepajang lutut, bertopi jerami kadang-kadang baju diikatkan dikepala untuk menahan panasnya sang surya. Padahal sang surya sudah menyiksa perlahan-lahan punggung pemuda ini dengan memberikan warna kemerahan.
Mengingatkan pada sebuah petambangan abad 19 dan 20 di Amerika. Tapi ini terjadi di abad 21. Di jaman ketika informasi tersebar dari ribuan mil dalam waktu satu detik. 

Demi butiran timah ditanah yang diharapkan. Berat timah menentukan makan apa dia hari ini. 

Tak jauh dari kota terletak sebuah kantor BUMN yang katanya menjadi “raja kecil” di tanah ini. Pemimpinnya memakai baju safari dan dasi-dasi berwarna menarik, dengan mobil-mobil mewah yang berjejer menghiasi parkiran. Mencari makan dengan sebuah pulpen dan computer. Dengan ruangan ber-AC. Dan beberapa pembantu. Mereka merencanakan makan apa tahun depan dan 10 tahun yang akan datang
Sedangkan di pinggir-pinggir kota terdapat beberapa penambang timah kecil-kecilan, ada wanita yang disebut ibu, ada laki-laki yang disebut bapak, ada juga pemuda hingga anak-anak berusia 10 tahun lebih bahkan ada yang berkurang dari 10 tahun memutar-mutar dulang (alat tambang tradisional) diatas air mengharapkan beberapa butir timah, kalau beruntung. Bertarung dipanasnya cuaca disiang hari untuk mencari makan di alam. Pakaian basah dan compang camping makan terbatas dan keinginan ditahan.

Mereka mencari timah ditanah yang dianggap ILEGAL. Mencari timah harus punya surat ijin, kata mereka yang berdasi. “Kalau  tidak punya surat ijin, itu ILEGAL”. Yang boleh mencari timah di tanah ini. hanya mereka yang mampu mengurus surat ijinnya lewat birokrasi  yang rumit, otomatis  mereka yang punya kenalan. Atau perusahaan-perusahaan tambang dari kaum borjuis. Yang memiliki kapal isap dan mesin canggih menambang timah. Surat ijin bisa diatur.
Yang tak mampu mengurusi surat ijin dan yang tak punya uang, gigit jari saja.
Berarti mereka yang tak punya surat ijin menambang, maka akan di cap makan uang haram. Tragis. 

Terus ada demo dari karyawan-karyawan perusahaan yang produksi terus menurun dan menurun beberapa bulan ini. Kata si berdasi itu karena penambang ILEGAL. Dan minta kawan berdasi dari pusat untuk bertindak. Supaya yang swasta dan penambang illegal ditindak, karena tidak mau jual timah ke BUMN dan memilih jual ke negara lain. Salah strategi perusahaan yang tak mau berbenah atau salah mereka yang tak mau menjual ke BUMN.

Beberapa hari kemudian muncul demo tandingan dari penambang yang dianggap ILEGAL oleh si berdasi ini. Dengan (disokong) teman-teman dari perusahaan swasta yang merasa tertuduh ini.

Sungguh tragis kisah pertimahan di negeri ini.
Yang miskin mencari timah di tanah sendiri, tapi dituduh mencari secara ILEGAL karena tak memiliki  surat ijin. Sedangkan yang si berdasi tetap tak peduli mereka nantinya makan apa. Sumber pendapatan tanah ini bukan pertanian, tapi pertambangan. Sedangkan terobosan tak ada untuk mengalihkan sumber pendapatan dari sector pertambangan ke sector pariwisata dan pertanian / perkebunan. Pemerintah masih tidur. Kondisi dimana negara itu kehadirannya tak dirasakan. Tapi justru yang terasa adalah kumpulan para mafia pembuat keputusan ILEGAL kepada si miskin.

Dan ini adalah sebuah cerita dari negeri(a) antah berantah.

Negeri(a) dimana masih dibayang-bayangi mimpi dan takhayul ratu adil.

Negeri(a) para berdebah (Tulis Tere Liye)

Atau tidak ada negeri(a).

Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...