Sebuah
Cerita . . . 1
ILEGAL
. . .
Ada seorang pemuda yang sedang
mengais rezeki dalam sebuah pertambangan. Hanya bercelana jeans sepajang lutut,
bertopi jerami kadang-kadang baju diikatkan dikepala untuk menahan panasnya
sang surya. Padahal sang surya sudah menyiksa perlahan-lahan punggung pemuda
ini dengan memberikan warna kemerahan.
Mengingatkan pada sebuah
petambangan abad 19 dan 20 di Amerika. Tapi ini terjadi di abad 21. Di jaman
ketika informasi tersebar dari ribuan mil dalam waktu satu detik.
Demi butiran timah ditanah yang
diharapkan. Berat timah menentukan makan apa dia hari ini.
Tak jauh dari kota terletak sebuah
kantor BUMN yang katanya menjadi “raja kecil” di tanah ini. Pemimpinnya memakai
baju safari dan dasi-dasi berwarna menarik, dengan mobil-mobil mewah yang
berjejer menghiasi parkiran. Mencari makan dengan sebuah pulpen dan computer.
Dengan ruangan ber-AC. Dan beberapa pembantu. Mereka merencanakan makan apa
tahun depan dan 10 tahun yang akan datang
Sedangkan di pinggir-pinggir kota
terdapat beberapa penambang timah kecil-kecilan, ada wanita yang disebut ibu,
ada laki-laki yang disebut bapak, ada juga pemuda hingga anak-anak berusia 10
tahun lebih bahkan ada yang berkurang dari 10 tahun memutar-mutar dulang (alat
tambang tradisional) diatas air mengharapkan beberapa butir timah, kalau
beruntung. Bertarung dipanasnya cuaca disiang hari untuk mencari makan di alam.
Pakaian basah dan compang camping makan terbatas dan keinginan ditahan.
Mereka mencari timah ditanah yang
dianggap ILEGAL. Mencari timah harus punya surat ijin, kata mereka yang
berdasi. “Kalau tidak punya surat ijin,
itu ILEGAL”. Yang boleh mencari timah di tanah ini. hanya mereka yang mampu
mengurus surat ijinnya lewat birokrasi
yang rumit, otomatis mereka yang
punya kenalan. Atau perusahaan-perusahaan tambang dari kaum borjuis. Yang
memiliki kapal isap dan mesin canggih menambang timah. Surat ijin bisa diatur.
Yang tak mampu mengurusi surat ijin
dan yang tak punya uang, gigit jari saja.
Berarti mereka yang tak punya surat
ijin menambang, maka akan di cap makan uang haram. Tragis.
Terus ada demo dari
karyawan-karyawan perusahaan yang produksi terus menurun dan menurun beberapa
bulan ini. Kata si berdasi itu karena penambang ILEGAL. Dan minta kawan berdasi
dari pusat untuk bertindak. Supaya yang swasta dan penambang illegal ditindak,
karena tidak mau jual timah ke BUMN dan memilih jual ke negara lain. Salah
strategi perusahaan yang tak mau berbenah atau salah mereka yang tak mau
menjual ke BUMN.
Beberapa hari kemudian muncul demo
tandingan dari penambang yang dianggap ILEGAL oleh si berdasi ini. Dengan
(disokong) teman-teman dari perusahaan swasta yang merasa tertuduh ini.
Sungguh tragis kisah pertimahan di
negeri ini.
Yang miskin mencari timah di tanah
sendiri, tapi dituduh mencari secara ILEGAL karena tak memiliki surat ijin. Sedangkan yang si berdasi tetap
tak peduli mereka nantinya makan apa. Sumber pendapatan tanah ini bukan
pertanian, tapi pertambangan. Sedangkan terobosan tak ada untuk mengalihkan
sumber pendapatan dari sector pertambangan ke sector pariwisata dan pertanian /
perkebunan. Pemerintah masih tidur. Kondisi dimana negara itu kehadirannya tak
dirasakan. Tapi justru yang terasa adalah kumpulan para mafia pembuat keputusan
ILEGAL kepada si miskin.
Dan ini adalah sebuah cerita dari
negeri(a) antah berantah.
Negeri(a) dimana masih
dibayang-bayangi mimpi dan takhayul ratu adil.
Negeri(a) para berdebah (Tulis Tere
Liye)
Atau tidak ada negeri(a).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar