Sepenggal tulisan dari Tjamboek
Berdoeri
Tulisan ini bukan menjiplak atau apalah . . .
Ini hanya mengingatkan . . .
Mengingatkan kepada mereka yang bodoh atau kepada mereka yang
lupa akan sejarah. Tapi kalau orang bodoh tidak akan mengerti, apalagi orang
yang lupa. Seperti tidak akan ada gunanya bagi kedua-duanya . . .
Jadi saya menulis ulang tulisan karya Tjamboek Berdoeri ini
untuk siapa . . . ?
Kalau begitu, saya persembahkan tulisan ini . . .
Untuk mereka yang hidup . . .
(Tulisan ini diperbaiki oleh saya sendiri, karena tulisan
dari Tjamboek Berdoeri mengunakan ejaan lama)
(Dikutip dari Buku Kambing Hitam teori Rere Girard oleh
Sindhunata)
“Dalam sekejap saja boleh dibilang
tidak ada satu orang Indonesia lelaki, dari kalangan rakyat biasa, tiada bersenjata.
Paling sedikit mereka masih bawa keris atau sengkelet pisau dipinggangnya. Bung
becak, bung dokar, bung tukang catut, bung tukang rombeng, bung jual rokok,
pendek semua berdandan dengan senjata tajam.”
“. . .
belakangan saja ketemu ia kembali di Taman Slamet. Bukan secara kebetulan ia
berada di sana, hanya sekarang ia sudah pindah dari kampungnya dan tinggal di
salah satu gedung di jalanan tersebut. Pakaian yang dipakai sudah bukann berupa
sarung dan baju piyama lagi, hanya ia pake sepatu dengan pembalut kaki sedikit
dibawah lutut. Celana dan jasnya dibikin dari kain drill kuning. Paling belakang saja ketemu di jalan Idjen, sebagian
penduduk yang tinggal di sana, di satu rumah yang lebih besar lagi. Dengan beenkap yang sekarang melewati lutut,
malah pedangnya bukan main panjangnya, serta dilengkapi revolver dari caliber yang boleh juga. Ini kali pun saya
diajakmampir pula. Jika dulu saya dibahasain tuan, sekarang saja di bung, dan
tentu saja saya juga balas dengan panggil ia bung. Hingga dalam percakapan
kita, ia dan saya main bang bung pergi datang.”
“. . . Wa,
sebetulnya orang Belanda ini, bung, pinter kalau mengatur rumahnya. Coba bung
lihat, kata ia sembari ajak saya masuk dikamarnya. Kalo malam saja mau kencing
semuanya sudah tersedia tinggal membuka airnya saja, ma sorr! Sudah bersih
lagi! La ini, kata lebih jauh si tuan rumah sembari ajak saya datang di ruangan
buat makan, kulkas itu sebetulnya perlu . . .”
“ . . .
Golongan mereka dalam keadaan biasa, memang merupakan golongan penduduk dari kelas
sedikit lebih tinggi dari kelas yang paling bawah. Dan di jaman revolusi,
golongan tersebut bisa dibagi menjadi dua golongan. Djamino dan Djoliteng
golongan gepeupel (jelata) dan
Djamino dan Doliteng golongan gespuis (bajingan).
Tergantung dari masing-masing punya tabiat sendiri. Djamino dan Djoliteng gepeupel bisa congkak, bisa sombong,
apalagi jika lagi melangkring di gedungnya, diatas bangku staalbuis yang tempat duduknya dulu dibikin dari bludru. Tapi ia
tidak jahat. Djamino dan Djoliteng gespuis, mereka itu dijaman revolusi
menjadi pembunuh, tukang perkosa, tukang bakar rumah penduduk yang tidak
berdosa, tukang sembelih korban-korbannya yang majit-majitnya dituangi bensin
buat dibakar!”
“ . . .
Seperti yang dilain bagian saya sudah bilang, mempunyai gegeupel dan gespuis begitu
bukan di monopoli oleh bangsa Indonesia sendiri saja. Warna kulit boleh bisa
lain, rumahnya bisa lain, bahasa bisa lain, tapi batinnya Djamino dan Djoliteng
sama. Di Tiongkok, di Nederland, di Jerman, di Prancis, di Rusia, di Amerika,
tegasnya di tiap-tiap negeri dan bangsa mesti terdapat Djamino dan Djoliteng
begitu. Kalo kita perhatikan apa yang dituturkan dalam buku sejarah dunia,
siapa yang bunuh dengan cara kejam dua saudara De Witt? Djamino dan DJoliteng Belanda. Waktu dihhampir akhirnya
abad ke delapan belas di Prancis timbul revolusi yang maha hebat, dalam mana
bukan saja kaum ningratnya, tapi sampaipun raja dan pemaisuri turut dipenggal batang lehernya, siapa yang
berbuat itu? Djamino dan Djoliteng Prancis, di Tiongkok sendiri Djamino dan
Djoliteng Tionghoa juga bukan terdiri dari dewa-dewa, malah bila dibandingkan
sama apa yang dilakukan oleh Djamino dan Djoliteng Indonesia, boleh dibilang
disini masih dipertunjukkan “pertunjukkan untuk anak-anak” saja.”
“ . . . saya
pun tahu oleh orang-orang Indonesia yang bisa berpikir, oleh orang-orang
Indonesia yang mempunyai perasaan tanggungjawab, perbuatan Djamino dan
Djoliteng Indonesia dicela dan dikutuk habis-habisan, seperti juga perbuatannya
Djamino dan Djoliteng Belanda, Djamino dan Djoliteng Prancis dan Djamino dan
Djoliteng Tionghoa, Djamino dan Djoliteng bangsa apapun juga, dicela dan
dikutuk habis-habisan oleh orang sebangsanya sendiri yang bisa berpikir dan
mempunyai perasaan tanggungjawab. Yang golongan Djamino dan Djoliteng dari
bangsa apa juga seringkali bikin pusing kepala pemmpin-peminpinnya, ini bisa
dimengerti. Kaum pemimpinnya boleh timbang matang sapai sematang-matangnya tiap
tindakan yang hendak dilakukan ; boleh rundingkan matang sematang-matangnya
tiap perkataan yang akibatnya diduga bisa berkeliaran ke segala jurusan yang
bisa diambil ole apa yang dinamakan diplomasi, tapi itu segala tindakkan dan
perkataan bisa terbalik maksudnya jika kena serobot oleh mereka punya golongan
Djamino dan Djoliteng.”
“ . . . dan
justru barisan Djamino dan Djoliteng itu juga yang bikin orang-orang dari
kalangann pemerintah sabar-sabar mesti usap-usap dadanya. Pemerintah mau
bersikap keras tidak bisa, sebab bukan saja didasarkan atas Kedaulatan Rakyat,
tapi juga haluannya bukan Fasisme seperti pemerintahan Jepang sebelumnya
terpaksa mesti tekuk lutut saking beratnya menyangga bom atom. Ketabahan,
seperti umumnya pemerintah yang baru didirikan di tengah-tengahnya revolusi,
pemerintah itu masih belum ada kekuatan cukup buat pegang teguh kemudinya,
menuju ke jurusan yang diingankan, dengan menetang segala ombak dan angin yang
dirasa bisa bikin ia terdampar di batu karang.”
“. . . sering kali saya dengar, sebagai salah satu
sebab kenapa orang TIonghoa umumnya dijadikan korban jika Djamino dan Djoliteng
merampok, katanya karena iri hati liat kedudukan lebih baik dari orang Tionghoa
dalam soal ekonomi. Yang dipukul ratanya kita memang benar tidak gampang
terpelanting, tegasnya dandang kita tiap hari masih tetap tetep ngukus, karena ini
tahu gelagat dan bisa mengimbangin serta cocokkan diri dengan keadaan. Jika
saja bilang kita, yang hidup dari perdagangan kecil atau yang menjadi kaum
buruh sekalipun.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar