Jumat, 03 Mei 2013

Tjamboek Berdoeri


Sepenggal tulisan dari Tjamboek Berdoeri
Tulisan ini bukan menjiplak atau apalah . . .
Ini hanya mengingatkan . . .
Mengingatkan kepada mereka yang bodoh atau kepada mereka yang lupa akan sejarah. Tapi kalau orang bodoh tidak akan mengerti, apalagi orang yang lupa. Seperti tidak akan ada gunanya bagi kedua-duanya . . .
Jadi saya menulis ulang tulisan karya Tjamboek Berdoeri ini untuk siapa . . . ?
Kalau begitu, saya persembahkan tulisan ini . . .
Untuk mereka yang hidup . . .

(Tulisan ini diperbaiki oleh saya sendiri, karena tulisan dari Tjamboek Berdoeri mengunakan ejaan lama)
(Dikutip dari Buku Kambing Hitam teori Rere Girard oleh Sindhunata)
“Dalam sekejap saja boleh dibilang tidak ada satu orang Indonesia lelaki, dari kalangan rakyat biasa, tiada bersenjata. Paling sedikit mereka masih bawa keris atau sengkelet pisau dipinggangnya. Bung becak, bung dokar, bung tukang catut, bung tukang rombeng, bung jual rokok, pendek semua berdandan dengan senjata tajam.”
            “. . . belakangan saja ketemu ia kembali di Taman Slamet. Bukan secara kebetulan ia berada di sana, hanya sekarang ia sudah pindah dari kampungnya dan tinggal di salah satu gedung di jalanan tersebut. Pakaian yang dipakai sudah bukann berupa sarung dan baju piyama lagi, hanya ia pake sepatu dengan pembalut kaki sedikit dibawah lutut. Celana dan jasnya dibikin dari kain drill kuning. Paling belakang saja ketemu di jalan Idjen, sebagian penduduk yang tinggal di sana, di satu rumah yang lebih besar lagi. Dengan beenkap yang sekarang melewati lutut, malah pedangnya bukan main panjangnya, serta dilengkapi revolver dari caliber yang boleh juga. Ini kali pun saya diajakmampir pula. Jika dulu saya dibahasain tuan, sekarang saja di bung, dan tentu saja saya juga balas dengan panggil ia bung. Hingga dalam percakapan kita, ia dan saya main bang bung pergi datang.”
            “. . . Wa, sebetulnya orang Belanda ini, bung, pinter kalau mengatur rumahnya. Coba bung lihat, kata ia sembari ajak saya masuk dikamarnya. Kalo malam saja mau kencing semuanya sudah tersedia tinggal membuka airnya saja, ma sorr! Sudah bersih lagi! La ini, kata lebih jauh si tuan rumah sembari ajak saya datang di ruangan buat makan, kulkas itu sebetulnya perlu . . .”
            “ . . . Golongan mereka dalam keadaan biasa, memang merupakan golongan penduduk dari kelas sedikit lebih tinggi dari kelas yang paling bawah. Dan di jaman revolusi, golongan tersebut bisa dibagi menjadi dua golongan. Djamino dan Djoliteng golongan gepeupel (jelata) dan Djamino dan Doliteng golongan gespuis (bajingan). Tergantung dari masing-masing punya tabiat sendiri. Djamino dan Djoliteng gepeupel bisa congkak, bisa sombong, apalagi jika lagi melangkring di gedungnya, diatas bangku staalbuis yang tempat duduknya dulu dibikin dari bludru. Tapi ia tidak jahat.  Djamino dan Djoliteng gespuis, mereka itu dijaman revolusi menjadi pembunuh, tukang perkosa, tukang bakar rumah penduduk yang tidak berdosa, tukang sembelih korban-korbannya yang majit-majitnya dituangi bensin buat dibakar!”
            “ . . . Seperti yang dilain bagian saya sudah bilang, mempunyai gegeupel dan gespuis begitu bukan di monopoli oleh bangsa Indonesia sendiri saja. Warna kulit boleh bisa lain, rumahnya bisa lain, bahasa bisa lain, tapi batinnya Djamino dan Djoliteng sama. Di Tiongkok, di Nederland, di Jerman, di Prancis, di Rusia, di Amerika, tegasnya di tiap-tiap negeri dan bangsa mesti terdapat Djamino dan Djoliteng begitu. Kalo kita perhatikan apa yang dituturkan dalam buku sejarah dunia, siapa yang bunuh dengan cara kejam dua saudara De Witt? Djamino dan DJoliteng Belanda. Waktu dihhampir akhirnya abad ke delapan belas di Prancis timbul revolusi yang maha hebat, dalam mana bukan saja kaum ningratnya, tapi sampaipun raja dan pemaisuri  turut dipenggal batang lehernya, siapa yang berbuat itu? Djamino dan Djoliteng Prancis, di Tiongkok sendiri Djamino dan Djoliteng Tionghoa juga bukan terdiri dari dewa-dewa, malah bila dibandingkan sama apa yang dilakukan oleh Djamino dan Djoliteng Indonesia, boleh dibilang disini masih dipertunjukkan “pertunjukkan untuk anak-anak” saja.”
            “ . . . saya pun tahu oleh orang-orang Indonesia yang bisa berpikir, oleh orang-orang Indonesia yang mempunyai perasaan tanggungjawab, perbuatan Djamino dan Djoliteng Indonesia dicela dan dikutuk habis-habisan, seperti juga perbuatannya Djamino dan Djoliteng Belanda, Djamino dan Djoliteng Prancis dan Djamino dan Djoliteng Tionghoa, Djamino dan Djoliteng bangsa apapun juga, dicela dan dikutuk habis-habisan oleh orang sebangsanya sendiri yang bisa berpikir dan mempunyai perasaan tanggungjawab. Yang golongan Djamino dan Djoliteng dari bangsa apa juga seringkali bikin pusing kepala pemmpin-peminpinnya, ini bisa dimengerti. Kaum pemimpinnya boleh timbang matang sapai sematang-matangnya tiap tindakan yang hendak dilakukan ; boleh rundingkan matang sematang-matangnya tiap perkataan yang akibatnya diduga bisa berkeliaran ke segala jurusan yang bisa diambil ole apa yang dinamakan diplomasi, tapi itu segala tindakkan dan perkataan bisa terbalik maksudnya jika kena serobot oleh mereka punya golongan Djamino dan Djoliteng.”
            “ . . . dan justru barisan Djamino dan Djoliteng itu juga yang bikin orang-orang dari kalangann pemerintah sabar-sabar mesti usap-usap dadanya. Pemerintah mau bersikap keras tidak bisa, sebab bukan saja didasarkan atas Kedaulatan Rakyat, tapi juga haluannya bukan Fasisme seperti pemerintahan Jepang sebelumnya terpaksa mesti tekuk lutut saking beratnya menyangga bom atom. Ketabahan, seperti umumnya pemerintah yang baru didirikan di tengah-tengahnya revolusi, pemerintah itu masih belum ada kekuatan cukup buat pegang teguh kemudinya, menuju ke jurusan yang diingankan, dengan menetang segala ombak dan angin yang dirasa bisa bikin ia terdampar di batu karang.”
            “. . .  sering kali saya dengar, sebagai salah satu sebab kenapa orang TIonghoa umumnya dijadikan korban jika Djamino dan Djoliteng merampok, katanya karena iri hati liat kedudukan lebih baik dari orang Tionghoa dalam soal ekonomi. Yang dipukul ratanya kita memang benar tidak gampang terpelanting, tegasnya dandang kita tiap hari masih tetap tetep ngukus, karena ini tahu gelagat dan bisa mengimbangin serta cocokkan diri dengan keadaan. Jika saja bilang kita, yang hidup dari perdagangan kecil atau yang menjadi kaum buruh sekalipun.”

Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...