HILANG
Mereka hanya berteriak, menuntut, berjalan, menulis hingga
mengajar. Tak ada pistol ditangan, tak ada tombak ditangan bahkan pisau tak ada
dipinggang. Tapi mereka orang-orang ditakuti oleh yang berkuasa melebihi mafia
dan teroris.
Mereka diikuti, setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka akan
dimintai tanggungjawab jika tak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh kaum
berkuasa. Setiap tulisan dari tangan mereka akan ditarik dari Koran kalau bisa
tulisan itu hilang dari seluruh dunia.
“Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak
mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona . . .” Tulis Tempo
untuk mengambarkan seseorang dari ‘mereka’.
Buat apa ditakuti! Apakah mereka pemberontak?
Hanya merongrong kekuasaan yang bersikap tak adil. Menikam kekuasaan
yang gemar menghilangkan manusia. Melempar
kekuasaan ke dasar jurang terdalam. Sampai membunuh kekuasaan itu sendiri.
Lewat teriakan kata-kata. Lewat kaki yang berjalan. Lewat tulisan
adalah senjata mereka.
Tapi begitu dibencinya oleh kekuasaan, seperti melihat tikus
dalam rumah. “Harus dihilangkan dari rumah” pikir kekuasaan.
15 belas tahun yang lalu mereka dihilangkan dari rumah mereka
sendiri. Belasan aktivis yang katanya berjuang untuk meruntuhkan sang penguasa.
Hilang tak berbekas. Bekasnya mungkin masih disimpan di dalam sarung pistol.
Dalam 15 belas tahun, setiap tahun mahasiswa yang katanya ‘teman’
dari mereka yang hilang turun ke jalan bawa spanduk dan embel-embel lainnnya
menuntut supaya kasus hilangnya teman mereka diusut dan pelakunya ditangkap.
Selama 15 belas tahun juga penguasa baru (entah penguasa lama)
yang lahir (atau tepatnya bersembunyi) dalam proses pergantian rezim (dari Orde
Baru ke Orde Belum Reformasi) tiap tahun menyaksikan teman-teman yang ‘dihilangkan’
itu melakukan penuntutan dijalan-jalan, atau sekitar bundaran HI.
Tapi sepertinya penguasa tetap saja belum sembuh dari penyakit
buta dan tuli. Sampai kapan jika sakit buta dan tuli itu bisa sembuh. Atau
lebih tepatnya penguasa itu ‘mati’.
Bukankah ‘mati’ lebih tepat ungkapannya. Manusia mati, ia tak
bisa merasakan lagi sakit dan senang, ia tak mendengar, ia tak melihat, ia tak
bisa mencium. Semua inderanya mati.
Atau penguasa itu mayat hidup yang tak memiliki perasaan. Yang masih saja tak mau
mendengarkan jeritan mereka yang menjadi sanak saudara, keluarga, teman
perjuangan yang menjadi korban dari kekuasaan sebelumnya. Penguasa baru (entah
lama) yang naik takhta juga tak ikut berjuang, hanya menyaksikan lewat televisi
dirumah perjuangan para aktivis. Tiba-tiba naik ke takhta karena perjuangan
orang lain.
. . .
Hilang ingatan juga yang memperingatinya. Hanya menjadikan Mei
itu bulan kramat untuk turun kejalan. Setiap tahun seperti dibuatkan suatu
peringatan. Jadi selama sebelas bulan itu lupa. Cuma ingat bulan Mei saja. Hilang
ingatan bahwa masih ada yang perlu dituntut.
Kemana mereka yang terhilang itu?
Adakah manusia yang tahu?
Atau harus berlari kepada malaikat lalu bertanya?
Sampai kepada para ‘iblis’ berdasi yang menenteng senjata penuh
darah?
Dia jatuh
Rubuh
Satu peluru
dalam kepala
Ingatannya melayang
Didakap siksa
Tapi siksa Cuma
dapat bangkainya
(Lekra)
Tapi bangkaipun hilang entah kemana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar