Senin, 13 Mei 2013

HILANG


HILANG

Mereka hanya berteriak, menuntut, berjalan, menulis hingga mengajar. Tak ada pistol ditangan, tak ada tombak ditangan bahkan pisau tak ada dipinggang. Tapi mereka orang-orang ditakuti oleh yang berkuasa melebihi mafia dan teroris.
Mereka diikuti, setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka akan dimintai tanggungjawab jika tak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh kaum berkuasa. Setiap tulisan dari tangan mereka akan ditarik dari Koran kalau bisa tulisan itu hilang dari seluruh dunia.
“Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona . . .” Tulis Tempo untuk mengambarkan seseorang dari ‘mereka’.
Buat apa ditakuti! Apakah mereka pemberontak?
Hanya merongrong kekuasaan yang bersikap tak adil. Menikam kekuasaan yang  gemar menghilangkan manusia. Melempar kekuasaan ke dasar jurang terdalam. Sampai membunuh kekuasaan itu sendiri.
Lewat teriakan kata-kata. Lewat kaki yang berjalan. Lewat tulisan adalah senjata mereka.
Tapi begitu dibencinya oleh kekuasaan, seperti melihat tikus dalam rumah. “Harus dihilangkan dari rumah” pikir kekuasaan.
15 belas tahun yang lalu mereka dihilangkan dari rumah mereka sendiri. Belasan aktivis yang katanya berjuang untuk meruntuhkan sang penguasa. Hilang tak berbekas. Bekasnya mungkin masih disimpan di dalam sarung pistol.
Dalam 15 belas tahun, setiap tahun mahasiswa yang katanya ‘teman’ dari mereka yang hilang turun ke jalan bawa spanduk dan embel-embel lainnnya menuntut supaya kasus hilangnya teman mereka diusut dan pelakunya ditangkap.
Selama 15 belas tahun juga penguasa baru (entah penguasa lama) yang lahir (atau tepatnya bersembunyi) dalam proses pergantian rezim (dari Orde Baru ke Orde Belum Reformasi) tiap tahun menyaksikan teman-teman yang ‘dihilangkan’ itu melakukan penuntutan dijalan-jalan, atau sekitar bundaran HI.
Tapi sepertinya penguasa tetap saja belum sembuh dari penyakit buta dan tuli. Sampai kapan jika sakit buta dan tuli itu bisa sembuh. Atau lebih tepatnya penguasa itu ‘mati’.
Bukankah ‘mati’ lebih tepat ungkapannya. Manusia mati, ia tak bisa merasakan lagi sakit dan senang, ia tak mendengar, ia tak melihat, ia tak bisa mencium. Semua inderanya mati.
Atau penguasa itu mayat hidup yang tak memiliki  perasaan. Yang masih saja tak mau mendengarkan jeritan mereka yang menjadi sanak saudara, keluarga, teman perjuangan yang menjadi korban dari kekuasaan sebelumnya. Penguasa baru (entah lama) yang naik takhta juga tak ikut berjuang, hanya menyaksikan lewat televisi dirumah perjuangan para aktivis. Tiba-tiba naik ke takhta karena perjuangan orang lain.
. . .
Hilang ingatan juga yang memperingatinya. Hanya menjadikan Mei itu bulan kramat untuk turun kejalan. Setiap tahun seperti dibuatkan suatu peringatan. Jadi selama sebelas bulan itu lupa. Cuma ingat bulan Mei saja. Hilang ingatan bahwa masih ada yang perlu dituntut.
Kemana mereka yang terhilang itu?
Adakah manusia yang tahu?
Atau harus berlari kepada malaikat lalu bertanya?
Sampai kepada para ‘iblis’ berdasi yang menenteng senjata penuh darah?
Dia jatuh
Rubuh
Satu peluru dalam kepala

Ingatannya melayang
Didakap siksa
Tapi siksa Cuma dapat bangkainya
(Lekra)
Tapi bangkaipun hilang entah kemana.

Tidak ada komentar:

Ketika Minum Kopi Pagi Hari

Akhirnya kamu meminum kopi terakhir di hari itu Kopi hitam tanpa gula dengan pisang goreng yang manis Duduk sendiri disudut kedai itu mengha...